|
SUGINAH (30) tergopoh-gopoh mendengar namanya dipanggil. Dia lantas menyudahi pekerjaannya memandikan anaknya dan lari menuju kerumunan ibu-ibu Dusun Giripurwo, Kecamatan Purwosari Gunungkidul. Kalau terlambat sedikit saja, gilirannya akan diganti oleh orang lain dan sia-sialah usahanya menunggu air sedari subuh. Satu jerigen, dua ember untuk mandi dan satu ember untuk mencuci baju. Lebih dari itu, teriakan-teriakan dari para pengantre air akan menerpa dirinya. Tidur tak nyenyak, cercaan tetangga pasti akan selalu terdengar. Maklum, semua haus, semua butuh air dan semua harus sabar mengantre di satu-satunya sumber air di dusun itu. Giripurwo, Purwosari adalah satu dari 11 kecamatan dari 18 kecamatan di Gunungkidul yang sepanjang musim kemarau akan mengalami kekeringan. Langganan kekeringan, begitu komentar ibu-ibu itu, dan sayangnya kondisi ini tak pernah berubah sejak puluhan tahun. Suginah yang sudah berhasil mengamankan hartanya yang tak ternilai itu, lantas berkata, zaman dia kecil, sumber itu mampu mengalirkan air cukup lumayan, sehingga tidak perlu harus mengantre dan dijatah seperti sekarang. "Sekarang sudah mengalirnya kaya pipis (kencing) bayi, yang butuh juga banyak. Semua warga di sini mengandalkan sumber ini, sebab tak ada yang lain. Beli, mahal," katanya. Dari Suginah ini diketahui bahwa sekitar 700 jiwa setiap hari hidup dari sumber air tersebut dan dari total penduduk Kabupaten Gunungkidul yang 724.685 jiwa, rata-rata juga mengalami pengalaman serupa. Gunungkidul merupakan salah satu dari lima kabupaten di Provinsi DIY dengan luas wilayah 1.485,36 kilometer persegi atau 46,63 persen dari keseluruhan luas wilayah Yogyakarta. Setiap tahun Gunungkidul selalu dihadapkan pada masalah yang sama yakni kekeringan. Penduduknya yang kebanyakan hidup dari hasil pertanian tadah hujan dan ladang seperti ketela, kacang, kedelai dan jagung, tak jarang harus hengkang dari kampung halamannya menuju kota-kota besar untuk mengubah nasib. Begitu juga Suginah, dia mengaku memilih tidak berlebaran dengan keluarganya kemarin dan pergi ke kota Yogyakarta untuk menjadi pembantu pacokan (pengganti). Lumayan katanya. Satu hari dia mendapatkan uang jasa Rp 100 ribu dan karena dia bekerja selama satu minggu, maka dia bisa membawa pulang uang Rp 700 ribu plus bonus hari raya berupa makanan ringan dari majikannya di Kota Yogya. "Lumayan, abis mau apa lagi, toh Lebaran setiap tahun juga pasti datang, dan saya baru dua kali Lebaran, jadi pembantu pacokan," katanya. Uang itu, kata dia, cukup untuk hidup selama dua bulan, mengingat ladangnya kering kerontang dan tak bisa menghasilkan apa pun. Anaknya yang sekolah di SMP setempat, butuh buku-buku pelajaran dan anak balitanya pun butuh perhatian dan dana lebih. Suaminya, ikut mengambil langkah seperti Suginah. Sebelum Lebaran dan sesudah Lebaran, suaminya ikut proyek pembangunan rumah di Kota Yogya, sambil menunggu hujan turun. "Kami biasa bekerja keras, karena harus begitu kalau mau hidup," katanya. Akhirnya, hanya demi air, Suginah dan kebanyakan warga Gunungkidul harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan sumber penghidupan manusia itu. "Kami iri dengan orang- orang kota, paling tidak ada air PDAM atau air galongan yang bisa dibeli. Di sini kalau pun ada yang jual air keliling, harganya sudah tinggi, kami tidak sanggup," ujar Suginah lagi. Meski ada yang menjual Rp 3.500 untuk 35 liter air, harga segitu buat orang kampung seperti Suginah dan kawan-kawannya, cukup buat makan selama tiga hari bahkan lebih. Karena itu, bila Lebaran di tempat-tempat lain semarak dengan aneka panganan dan jajanan bahkan uang angpau, maka bagi Suginah dan ibu-ibu itu, yang penting adalah air. Suginah hanya bercerita kalau keluarganya menyuguh tamu dengan panganan tradisioanal yang diolah sendiri. Gaplek dan nasi tiwul berteman sayur lodeh dan sayur daun papaya plus krupuk singkong yang mereka buat sendiri. Bagi Suginah, Lebaran rutinitas yang pasti terjadi sepanjang tahun. Begitu juga antre air. Pasti mereka lakukan sepanjang musim kemarau. [Pembaruan/ Fuska Sani Evani] Post Date : 30 Oktober 2006 |