Senin pagi ini, 11 Mei, Konferensi Kelautan Sedunia dibuka di Manado, Sulawesi Utara. Sekitar 150 negara mengirimkan wakilnya. Ihwal laut dan seisinya serta perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan bahari menjadi bahasan utama dalam pertemuan internasional itu. Kota Manado dilanda euforia konferensi dan kesibukan tak terkira.
Jauh dari hiruk-pikuk konferensi, ada Tridoyo Kusumastanto di Bogor, Jawa Barat. Dia juga sibuk bukan main menangani urusan kelautan Indonesia. Aktivitas itu sudah menjadi rutinitas hidupnya selama 34 tahun terakhir.
Hal yang amat menjadi perhatian Tridoyo adalah sumbangan bidang kelautan, terutama perikanan, terhadap perekonomian nasional. Dia berkali-kali menghela napas panjang bila tengah membicarakan soal ini. Sumbangan bidang perikanan kita memang masih rendah. Dan persentasenya tak beranjak dari tahun ke tahun. Padahal dua pertiga wilayah Indonesia berwujud laut.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2004, sektor perikanan menyumbangkan Rp 53 triliun. Ini sama dengan 2,3 persen dari total produk domestik bruto. Empat tahun kemudian, jumlahnya berlipat ke Rp 136,4 triliun. Tapi porsi sektor perikanan terhadap produk domestik bruto sebetulnya hanya bergeser ke angka 2,7 persen.
Tridoyo telah memimpin Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor selama delapan tahun lebih. Dia juga anggota Dewan Kelautan Indonesia, lembaga yang berpucuk tertinggi pada Presiden. Dia mengingatkan, selain membahas tema muluk seperti perubahan iklim, pemerintah Indonesia mesti mendesakkan agenda pengentasan masyarakat miskin.
Kemiskinan adalah soal krusial yang melilit nelayan Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Laut di Indonesia barat, misalnya, sudah terlalu dieksploitasi. Jumlah nelayannya besar. Maka sebagian nelayan di pesisir utara Jawa mesti dialihkerjakan. ”Jika tidak, mereka akan selamanya miskin,” ujar Tridoyo.
Di kantornya yang adem di Institut Pertanian Bogor, Tridoyo memberikan wawancara khusus kepada Sapto Pradityo dan Adek Media Roza dari Tempo. Perbincangan berlangsung pada Kamis pekan lalu.
Konferensi Kelautan Sedunia dilangsungkan di Manado pekan ini. Menurut Anda, apa agenda yang mesti diperjuangkan Indonesia?
Pertama, kelestarian sumber daya laut Indonesia: koral, hutan bakau, padang lamun. Kedua, pengentasan masyarakat miskin dan aktivitas ekonomi pesisir.
Berapa kontribusi bidang kelautan kita terhadap ekonomi nasional sekarang?
Meliputi tujuh sektor, kontribusi kelautan kita sekarang 23,2 persen dari produk domestik bruto. Namun kami menghitung kontribusi itu berdasarkan aktivitas ekonomi di tingkat kabupaten.
Bagaimana kalau dihitung lebih detail di tingkat kecamatan?
Angkanya sedikit lebih kecil. Bidang kelautan terdiri atas tujuh sektor: perikanan, pariwisata bahari, industri kelautan, transportasi laut, bangunan kelautan, pertambangan laut, dan jasa kelautan. Penyumbang terbesar adalah pertambangan laut, sekitar 9 persen.
Padahal penentu keberlanjutan aktivitas ekonomi sebenarnya adalah sumber daya terbarui (sustainability)….
Ya, terutama perikanan dan pariwisata bahari. Dua sektor ini justru belum tergarap optimal. Kalau minyak dan gas, kan, suatu saat akan habis.
Sebelum tahun 2000, Indonesia masuk sepuluh besar eksportir ikan dunia. Tapi sekarang tergusur. Apa penyebabnya?
Yang pertama, kebijakan pemerintah kurang mendorong pertumbuhan produksi dan peningkatan nilai tambah produk ekspor perikanan. Yang kita lakukan masih produksi seperti biasa. Dulu kita lihat ikan teri dikeringkan. Sampai sekarang yang kita lihat, ya, tetap teri kering itu. Padahal nilai tambahnya sangat sedikit. Belum banyak yang dilakukan pemerintah.
Bagaimana dengan penyelamatan ekosistem laut Indonesia?
Nah, itu langkah berikutnya. Dari dulu selalu digembar-gemborkan laut Indonesia kaya-raya. Tapi apa betul seperti itu? Kalau nelayan mengatakan, ”Ikan tangkapan kami lebih sedikit,” atau, ”Kami perlu berlayar lebih jauh,” dan, ”Hasil tangkapan kami lebih kecil,” itu pertanda telah terjadi kerusakan lingkungan pesisir dan laut.
Departemen Kelautan mengatakan stok ikan nasional kita 6,4 juta ton per tahun.
Angka itu tak berubah sejak saya masih belajar pada 1980-an sampai sekarang. Pengelolaan laut kita dikerjakan dengan data yang amat terbatas dan keabsahannya diragukan. Data yang didapat di atas meja, saya kira, angka wajarnya di bawah itu. Di beberapa tempat, potensi ikan kita menunjukkan penurunan. Karena tidak ada data, kita tak bisa mengatur musim penangkapan atau jumlah ikan yang boleh ditangkap agar tidak merusak lingkungan, atau bagaimana menangkap ikan bernilai ekonomis tinggi.
Maksud Anda, pengelolaan selama ini masih belum mendorong keberlanjutan sumber daya laut?
Ya, padahal kalau kita tahu jumlah cadangan ikan dan besarnya kerusakan, perbaikan bisa segera dilakukan lewat restocking atau penyebaran benih serta menanam koral dan padang lamun.
Kurangnya pengembangan perikanan Indonesia apakah selalu terkait dengan masalah investasi?
Industri perikanan tidak mesti dalam skala besar dan berteknologi canggih. Yang penting memberdayakan masyarakat pesisir dengan teknologi tepat guna, kontinuitas produksi, dan akses pasar. Saya pernah mengusulkan kita membuka kluster-kluster industri bahari. Dengan begitu, konsentrasi kelautan bukan cuma ke perikanan. Sebab, sektor perikanan tak mungkin bisa sendirian mengentaskan masyarakat miskin.
Bagaimana dengan problem sumber daya manusia?
Ini persoalan klasik yang perlu diterobos. Jika kita mau memenuhi standar produk internasional, kualitas, peralatan laboratorium, dan proses produksi kita mesti memenuhi standar mereka. Bila ini bisa dipenuhi, kita tidak sulit menembus posisi sepuluh besar eksportir perikanan dunia.
Sektor mana yang lebih kuat di dalam industri perikanan kita sekarang: perikanan tangkap atau perikanan budi daya?
Lebih besar kontribusi perikanan tangkap, 60-70 persen. Di laut kan tinggal panen ikan saja. Indonesia masih menganut akses terbuka terhadap laut, tidak ada yang membatasi, karena wilayah lautnya amatlah luas. Siapa pun boleh menangkap ikan. Akibatnya, pemerintah tak punya kontrol. Padahal, dalam sektor perminyakan atau pertambangan, negara mengatur lewat pemberian hak konsesi perikanan.
Apa yang mesti kita buat agar terjadi keseimbangan antara perikanan budi daya dan perikanan tangkap?
Problem di perikanan budi daya adalah investasi. Perlu lahan, perairan, penguasaan wilayah. Misalnya, kalau mau membuka tambak, perlu izin Departemen Kehutanan untuk membabat bakau, walaupun saya berpendapat tak perlu lagi membabat bakau karena wilayah pantai yang ada sudah lebih dari cukup.
Oh ya, Anda punya data dampak pencemaran air bagi perikanan budi daya?
Di pantai utara Pulau Jawa, produksi tambak udang menurun karena kualitas air memburuk akibat limbah industri, pertanian, dan rumah tangga. Saya memperkirakan Laut Jawa bisa menjadi tempat sampah terbesar di dunia kalau tidak ditangani dari sekarang. Dalam mengelola kelautan, tak bisa lagi kita hanya menyoroti masalah di laut. Pencemaran laut dan pesisir tak bisa dipisahkan dari daerah aliran sungai.
Laut Indonesia barat, seperti yang Anda katakan, sudah overfishing, terlalu dieksploitasi. Bisa dirinci kerusakannya?
Problemnya, kita tidak punya daya yang bisa diandalkan. Saya sering bilang ke Departemen Kelautan, ”We have the best available data, but we don’t have reliable data.” Kalau ditanya turunnya cadangan ikan berapa besar, saya tidak tahu. Hasil penelitian kami, kondisi di Selat Malaka sudah berwarna merah.
Maksudnya, perairan di wilayah barat sudah tidak bisa lagi dieksplorasi?
Masih ada, tapi tinggal Samudra Hindia, yakni pantai barat Sumatera dan laut di selatan Pulau Jawa. Di selatan Bali juga ada ikan tuna. Dan tentu saja wilayah perairan Indonesia timur.
Apakah penangkapan ilegal salah satu penyebab eksploitasi laut wilayah barat?
Penangkapan ilegal banyak terjadi di atas Pontianak. Kapal Thailand banyak beroperasi di sini. Kapal mereka besar-besar. Saya pernah lihat sendiri. Ini memang salah satu faktor perusak. Kerusakan juga terjadi karena penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan kepadatan nelayan yang kelewat tinggi. Di pesisir Lampung, jumlah nelayan padat sekali, jauh melebihi kapasitas laut.
Urgensi apa yang perlu disarankan kepada pemerintah?
Kepadatan nelayan yang besar mestinya dipindahkan. Selama ini, pemerintah selalu mendorong siapa pun masuk sektor perikanan, sekalipun tanpa bekal keterampilan memadai. Padahal tenaga tak terampil justru menjadi beban sektor perikanan. Dari sisi ketenagakerjaan, ini memang berjasa sebagai katup pengaman sosial, penciptaan lapangan kerja. Tapi itu malah mengancam sektor perikanan karena tenaga yang tidak terampil bisa menghancurkan ekosistem kita.
Tentang pemulihan ekosistem, Anda punya usul apa?
Konservasi. Kurangi penangkapan, perbanyak menanam koral, bakau, dan sebagainya. Pengelolaan harus diubah. Ada dua unsur pengelolaan. Pertama, instrumen input, yaitu berapa kapal yang diberi izin melakukan penangkapan. Kami pernah menghitung, di pantai utara Jawa Barat, jumlah nelayan yang boleh menangkap harusnya hanya 15 persen dari jumlah yang ada. Artinya, 85 persen harus beralih kerja. Selama ini tidak dilakukan, nelayan pesisir akan selamanya miskin. Kedua, pemulihan lingkungan. Pemeliharaan koral yang menjadi tempat memilah ikan, dalam kondisi ekstrem, perlu penyebaran benih baru.
Penebaran benih ini tanggung jawab siapa?
Negara yang harus merintis. Memang mahal. Tapi negara pada akhirnya akan mendapat manfaat. Jepang sudah melakukan penebaran benih ini sejak abad ke-17.
Tridoyo Kusumastanto
Lahir: Klaten, 7 Mei 1958
Pendidikan:
* S-1, Teknik dan Manajemen Penangkapan Ikan, Institut Pertanian Bogor (1980) * S-2, Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (1984) * S-3, Ekonomi, Auburn University, Amerika Serikat (1994)
Pekerjaan:
* Dosen Sosial Ekonomi Perikanan Institut Pertanian Bogor (1986-sekarang) * Dosen Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir IPB (1994-sekarang) * Direktur Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB (2000-sekarang) * Sekretaris Majelis Wali Amanat IPB (2007-sekarang) * Anggota Dewan Kelautan Indonesia (2008-sekarang)
Post Date : 11 Mei 2009
|