|
LAPORAN pembangunan manusia merupakan sebuah hasil kajian yang membawa pesan perlunya pembangunan manusia sebagai alat dan tujuan demokrasi. Tentu saja laporan seperti itu akan mengundang banyak kontroversi, apalagi perhatian orang selama ini hanya tertuju pada angka, baik peringkat maupun pembiayaan. KALAU membaca Laporan Pembangunan Manusia Global (Human Development Report/HDR, yang diterbitkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa/UNDP setiap tahun sejak tahun 1990), terlihat bahwa perhatian terutama ditujukan pada angka-angka indeks pembangunan manusia. Dalam HDR 2004, Indonesia menduduki peringkat ke-111 dari 177 negara. Kalau membaca Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) 2004, perhatian terutama ditujukan pada pembiayaan empat hak dasar warga negara yang berjumlah Rp 103 triliun atau hampir 6 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Yang terlewat adalah diskusi mengenai mengapa Indonesia perlu memprioritaskan kembali pembangunan manusia untuk mengkonsolidasikan demokrasi dalam periode transisi ini. Tulisan ini berupaya untuk mengungkapkan kembali argumen-argumen utama dalam LPMI 2004. Pada bagian akhir akan dikemukakan urgensi dibuatnya kontrak sosial baru antara para pemimpin politik dengan rakyat. Sebelum krisis terjadi, Indonesia cukup berhasil dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara. Indonesia mampu menerjemahkan pertumbuhan ekonomi yang cepat menjadi pertumbuhan indeks pembangunan manusia. Berangkat dari basis yang rendah di pertengahan tahun 1960-an, Indonesia secara ajek mampu mengejar ketinggalannya dalam pembangunan manusia dari tetangganya di Asia Tenggara. Hasilnya, peringkat pembangunan manusia Indonesia sama dengan peringkatnya dalam pendapatan per kapita. Ini mengisyaratkan bahwa pencapaian Indonesia dalam pembangunan manusia adalah rata-rata untuk tingkat perkembangan ekonominya. Kombinasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan penurunan laju pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya taraf hidup dan penurunan angka kemiskinan. Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan sangat kuat karena dalam masa pertumbuhan tinggi itu, tidak terjadi peningkatan kesenjangan pendapatan. Distribusi pendapatan relatif stabil dalam kurun waktu tersebut. Pertumbuhan ekonomi menghasilkan pembangunan manusia melalui berbagai jalan. Salah satu di antaranya adalah melalui investasi pemerintah dalam pelayanan umum, yang lainnya melalui peningkatan pengeluaran masyarakat untuk pangan, papan (perumahan), dan untuk kesehatan atau pendidikan. Pengeluaran pemerintah dalam proporsi PDB termasuk kecil di Indonesia, jauh lebih rendah dari negara-negara tetangga atau negara sedang berkembang lainnya. Walaupun pengeluaran Indonesia, untungnya, terkonsentrasi pada pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar. PENGELUARAN publik yang rendah ini tentunya harus diisi dengan pengeluaran masyarakat. Hal ini terutama tampak dalam bidang kesehatan. Pengeluaran masyarakat untuk kesehatan sekitar 80 persen dari keseluruhan pengeluaran untuk kesehatan. Ini berarti pemerintah hanya bertanggung jawab atas 20 persen dari belanja kesehatan. Angka ini pun masih lebih rendah daripada pengeluaran publik di negara-negara tetangga. Tidak seperti pengeluaran publik yang secara merata tersebar untuk semua kelompok masyarakat. Sebaliknya, pengeluaran masyarakat bertumpuk pada kelompok masyarakat yang mampu secara ekonomi. Pada tahun 2002, 20 persen kelompok penduduk termiskin hanya bertanggung jawab atas 8 persen dari keseluruhan belanja kesehatan dasar masyarakat. Sedangkan 20 persen kelompok penduduk terkaya bertanggung jawab atas 39 persen dari belanja kesehatan masyarakat. Kesenjangan ini semakin lebar bila kita melihat angka pengeluaran untuk rumah sakit. Mengingat standar gizi, perumahan, dan pendidikan mereka, maka kelompok penduduk termiskin sangat mungkin memiliki standar kesehatan yang rendah pula. Ketergantungan kepada belanja kesehatan dari masyarakat akan menyebabkan jurang antara si kaya dan si miskin dalam bidang kesehatan menjadi semakin lebar. Kesenjangan ini terwujud dalam tingkat kematian bayi kelompok termiskin tiga kali lebih tinggi dari kelompok terkaya. Walaupun perbedaan ini terdapat pula di negara lain, kesenjangan di Indonesia jauh lebih besar daripada kesenjangan di Filipina dan Vietnam. Kesenjangan ini juga terjadi antarwilayah. Tingkat kematian bayi di Lombok Barat, misalnya, empat kali lebih tinggi daripada banyak daerah tingkat II lainnya. Seperti juga dalam bidang kesehatan, terjadi pula kesenjangan dalam bidang pendidikan. Keluaran dalam bidang pendidikan tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya tingkat pendidikan orangtua dan tekanan pada anak-anak usia sekolah untuk bekerja agar dapat membantu ekonomi keluarga. Pengeluaran pemerintah telah terbukti memiliki dampak yang besar. Pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan di Indonesia memiliki efek pemerataan karena sebagian besar sekolah dasar dan sekolah menengah adalah sekolah negeri. Sebagai akibatnya, pada tingkat enrolment sekolah sasar, tidak ada perbedaan besar antara berbagai kelompok pendapatan. Akan tetapi, terdapat perbedaan pada tingkat sekolah menengah. 72 persen anak-anak kelompok paling kaya terdaftar di SLTP, dibandingkan dengan 50 persen anak-anak di kelompok paling miskin. Mereka, anak-anak kelompok paling miskin, juga banyak yang putus sekolah di sekolah dasar. (LPEM-FEUI, 2002:2). Perbedaan ini juga ditunjukkan dalam tingkat melek huruf: pada tahun 2002, tingkat melek huruf laki-laki di kelompok termiskin adalah 87 persen, sedangkan di kelompok terkaya adalah 98 persen. Angka melek huruf untuk perempuan kelompok termiskin adalah 76 persen berbanding 94 persen untuk kelompok terkaya. Kurangnya investasi dalam bidang pendidikan ini menyebabkan kualitas pendidikan sekolah negeri menurun. Walaupun sekolah negeri jumlahnya jauh lebih banyak daripada sekolah swasta, hasil ujian akhir menunjukkan bahwa untuk peringkat 10 besar di setiap kategori hanya terdapat empat SLTP negeri dan tiga SLTA negeri. Keprihatinan atas kualitas pendidikan di Indonesia ini, memang telah ada jauh sebelum krisis ekonomi di tahun 1997. Hal ini semakin memprihatinkan bila kita tengarai semakin buruknya situasi pendidikan kita setelah krisis tersebut. LPMI 2004 telah menghitung diperlukan paling sedikit Rp 103 triliun, atau 5,8 persen dari PDB, setiap tahunnya untuk memenuhi empat hak yang paling dasar dari warga negara, yaitu hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Saat ini pemerintah hanya menganggarkan Rp 53,7 triliun atau 3 persen dari PDB. Itu berarti perlu tambahan Rp 50 triliun setiap tahunnya. Karena itu, diperlukan reorientasi mengenai prioritas-prioritas bangsa ini. Laporan itu mengusulkan satu komitmen bersama dalam bentuk kontrak sosial baru. Tentu saja yang paling mendesak pada saat ini adalah penyusunan kebijakan yang memberikan prioritas pada pembangunan manusia. Lanskap politik Indonesia saat ini menuntut pelibatan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. LPMI 2004 mengusulkan agar dilakukan sebuah pertemuan tingkat tinggi (social summit) untuk membuat semua elite politik Indonesia memberi komitmen bagi pembangunan manusia. Tentu saja komitmen ini hanya dapat dilakukan bila cukup desakan dari berbagai pihak akan urgensi persoalan ini. Lebih banyak lagi advokat dan "provokator" diperlukan! Rizal Malik Penasihat Senior dalam Bidang Kebijakan Sosial, United Nations Support Facility for Indonesia Recovery (UNSFIR) UNSFIR adalah Proyek Kerja Sama antara Pemerintah RI dan UNDP Post Date : 06 November 2004 |