|
Optimisme dan kekhawatiran mewarnai pembukaan COP-13 UNFCCC. Australia akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto, Amerika Serikat konsisten menolak. Sikap Jepang dinilai membingungkan Ketika sidang dibuka, tibalah giliran Indonesia menorehkan sejarah dalam misi penyelamatan bumi dari ancaman pemanasan global. Pada saat yang hampir bersamaan, Australia menyumbang kesan positif kepada tuan rumah konferensi. Perdana Menteri Kevin Rudd menyampaikan secara resmi meratifikasi Protokol Kyoto. Namun, di luar nilai positif itu, kekhawatiran tetap ada. Terutama yang berhubungan dengan tenggat waktu untuk mencapai kesepakatan dalam perundingan mengenai pengaturan pasca-Protokol Kyoto. "Pengumuman hasil perundingan dan penetapan batas akhir perundingan pada 2009 merupakan suatu terobosan. Lebih dari itu adalah suatu kegagalan," kata Presiden Konferensi Para Pihak (COP)-13 dalam Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), Rachmat Witoelar. Pernyataan itu dikemukakan Rachmat dalam pidato pembuka konferensi, tepatnya pada pleno pertama COP-13 yang digelar di Business International Convention Center, Nusa Dua, Bali, Senin lalu. Rachmat juga menegaskan, beberapa pokok masalah perundingan yang mendesak untuk disepakati, antara lain mitigasi --termasuk pengurangan emisi deforestasi-- adaptasi, teknologi, dan pendanaan. Sebelum giliran Menteri Negara Lingkungan Hidup RI itu menyampaikan pidato, Menteri Lingkungan Kenya, David Mwiraria, terlebih dulu angkat bicara. Mwiraria menyerukan pada seluruh pihak untuk segera menyelesaikan perundingan dan mengambil langkah nyata terkait upaya penanganan perubahan iklim. Mwiraria, Presiden COP-12 yang digelar di Nairobi, Kenya, dua tahun lalu, juga mengemukakan harapannya agar para pihak segera menyepakati konvensi perubahan iklim. ''Karena dunia memerlukan sebuah rezim yang dapat mengatasi dampak perubahan iklim dalam kesepakatan yang adil,'' kata Mwiraria, beberapa saat sebelum menyerahkan jabatan ''presiden''-nya kepada Rachmat Witoelar. Catatan penting yang mengiringi harapan Mwiraria itu adalah langkah Perdana Menteri (PM) Kevin Rudd. Dia menandatangani instrumen ratifikasi Protokol Kyoto pada 3 Desember 2007, bertepatan dengan hari ketika ia mengambil sumpah selaku perdana menteri ke-26 Australia di depan Gubernur Jenderal Michael Jeffery. Langkah Rudd menandatangani instrumen ratifikasi Protokol Kyoto itu membuka jalan bagi Australia untuk menjadi anggota penuh Protokol Kyoto sebelum akhir Maret 2008. Sebab, di bawah aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ratifikasi Protokol Kyoto baru berlaku 90 hari setelah instrumen ratifikasi diterima PBB. "Langkah maju yang signifikan dalam upaya Australia ikut merespons dampak negatif perubahan iklim di dalam negeri dan bersama-sama masyarakat internasional,'' kata PM Rudd, sebagaimana dilaporkan kantor berita Antara. Dengan keikutsertaan resmi dalam perjanjian ini, berarti Australia wajib berupaya memenuhi target Protokol Kyoto. Target-target dimaksud adalah mematok pengurangan emisi hingga 60% sampai tahun 2050 dan membentuk skema perdagangan emisi nasional pada 2010. Selain itu, Australia diminta mematok target 20% untuk energi yang dapat diperbarui hingga tahun 2020, dengan cara memperluas pemakaian sumber-sumber energi yang dapat diperbarui secara dramatis, seperti energi matahari dan angin. Sementara itu, Amerika Serikat, yang pada masa kepemimpinan PM John Howard (1996-2007) menjadi ''kolega penting'' Australia dalam menyikapi Protokol Kyoto, tetap konsisten. Yakni sebagai negara industri besar yang belum memutuskan untuk berpartisipasi dalam protokol yang diadopsi pada COP-3 Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim di Kyoto, Jepang, 11 Desember 1997, itu. Sikap tersebut ditegaskan juru runding senior yang juga menempati posisi sebagai wakil kepala delegasi Amerika Serikat dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali kali ini, Dr. Harlan L. Watson. Meski begitu, dalam jumpa pers di Hotel Westin, Nusa Dua, Senin lalu, Watson mengemukakan komitmen Amerika untuk mendukung negosiasi dan penyusunan Peta Jalan Bali (Bali Roadmap). Peta ini akan menjadi kerangka rezim perubahan iklim global pasca-periode pertama Protokol Kyoto 2012. "Kami akan mendukung rezim yang secara lingkungan hidup efektif dan berkelanjutan secara ekonomi," kata Harlan. Harlan juga menekankan perlunya rezim baru nanti memberikan jaminan agar proses penurunan emisi tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi. "Energi adalah kunci pertumbuhan ekonomi, dan permintaan energi dunia akan meningkat 50% pada tahun 2030," katanya, menjelaskan tren negara berkembang dan negara maju di dunia. Amerika Serikat adalah negara maju yang emisi karbon per kapitanya merupakan yang tertinggi di dunia. Tiap penduduk Amerika menghasilkan 20,6 ton emisi karbon setiap tahun, sedangkan rata-rata per kapita dunia adalah 0,5 ton per tahun. Sementara itu, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer, mengatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat bagi negara berkembang untuk menyiapkan rencana guna menghadapi dampak perubahan iklim. Ia menambahkan, sudah saatnya kesepakatan mengenai dana adaptasi Protokol Kyoto diatur, sehingga dana itu mulai dapat digunakan untuk membiayai proyek adaptasi secara nyata. Menurut De Boer, upaya untuk terus memperkuat mekanisme pembangunan bersih (CDM) Protokol Kyoto mengindikasikan bagaimana negara industri dapat terus memimpin usaha pengurangan emisi. Senada dengan Rachmat Witoelar, De Boer mendesak agar pembahasan mengenai pengaturan pasca-2012 --berakhirnya Protokol Kyoto-- dipercepat. "Langkah akhir perundingan selama dua tahun itu akan menjelaskan target dan tipe peraturan perundangan yang diperlukan untuk menetapkan kesepakatan internasional baru," ujarnya. Tidak seluruh lalu lintas pernyataan dan berbagai stimulus wacana di hari pertama konferensi berlangsung mulus. Sempat muncul riak-riak yang menarik diamati. Antara lain berhubungan dengan pernyataan delegasi Jepang pada sidang COP yang berlangsung setelah pembukaan konferensi. Pada sidang COP, delegasi Jepang mengeluarkan pernyataan "adalah penting untuk bergerak dari Protokol Kyoto kepada kerangka kerja baru yang akan diterima dengan baik oleh publik, di mana seluruh negara dengan senang hati berpartisipasi untuk mengambil bagian dalam pengurangan emisi global". Pernyataan itu oleh sejumlah perwakilan LSM internasional dinilai sebagai sikap Jepang --negara yang melahirkan Protokol Kyoto-- yang menghendaki target-target pengurangan emisi dalam Protokol Kyoto dihapuskan. "Ini bukan waktunya untuk mundur, tapi maju. Pernyataan Jepang membuat kami bertanya-tanya," kata Kyoko Kawasaka dari Kiko Network di sela-sela sidang UNFCCC di Bali, Selasa siang, sebagaimana dilaporkan Antara. Menurut Kawasaka, Pemerintah Jepang hendaknya segera menjelaskan maksud pernyataan dan sikapnya atas Protokol Kyoto itu. Jika maksudnya adalah keinginan memulai seluruh proses dari awal dan bukan melanjutkan perundingan untuk mencapai kesepakatan penurunan emisi yang mengikat, Kawasaka menganggap Jepang melupakan inti Protokol Kyoto. Ketika ditanya mengenai komitmen Pemerintah Jepang, Kyoko mengatakan, sekalipun Menteri Lingkungan Jepang masih memandang kesepakatan penurunan emisi yang mengikat sebagai pilihan, pengaruh menteri industri terhadap kebijakan Pemerintah Jepang lebih besar. Konferensi Para Pihak ke-13 dalam Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim, yang berlangsung pada 3-14 Desember, ini tercatat diikuti tidak kurang dari 8.639 peserta. Sebanyak 2.734 peserta di antaranya adalah delegasi resmi dari 189 negara. Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat, organisasi internasional, dan badan PBB yang sudah memastikan hadir mencapai 4.922 orang dari 398 organisasi. Sedangkan total wartawan yang mendaftarkan diri mencapai 982 orang dari 360 media massa di seluruh dunia. Sebanyak 99% dana untuk perhelatan akbar ini berasal dari APBN, yakni Rp 115 milyar. Sedangkan dari lembaga donor mencapai US$ 3 juta, yang dibelanjakan sejak enam bulan lalu. Menurut Rachmat Witoelar, sepanjang konferensi berlangsung, diperkirakan 50.000 ton emisi CO2 dilepaskan ke udara. Untuk menyeimbangkan emisi karbon itu, Indonesia menyiapkan lima titik lahan hutan di Indonesia dengan luas sekitar 54.000 hektare untuk ditanami pepohonan. ''Diperkirakan dapat menyerap hingga 900.000 ton CO2,'' kata Rachmat. Bambang Sulistiyo dan Bernadetta Febriana Post Date : 12 Desember 2007 |