Lagi-lagi Sampah

Sumber:Suara Pembaruan - 25 April 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Persoalan sampah Ibukota kembali mengemuka. Bukan karena warga menolak pembuangan sampah di daerahnya, tetapi justru elite kekuasaan yang ribut. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, selaku produsen sampah, dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi selaku pemilik tempat pembuangan akhir sampah (TPA), bersitegang.

Gara-gara pengelola TPA Bantar Gebang, PT Patriot Bangkit Bekasi belum menyetor uang jasa (tipping fee) ke Pemkot Bekasi sejak Desember 2005, dengan total tagihan Rp 7 miliar.

Pihak Pemkot Bekasi mengancam, apabila uang jasa tidak segera disetorkan, pihaknya akan menutup lokasi TPA Bantar Gebang. Pengelola TPA sendiri berdalih belum menerima setoran dari Pemprov DKI Jakarta. Selama ini besar uang jasa Rp 52.500 per ton sampah, dan pengelo- la TPA menilai itu tidak memadai lagi sehingga mereka minta kenaikan menjadi Rp 60.000 per ton.

Persoalan menjadi berkembang, karena anggota DPRD Provinsi DKI menanggapi ancaman itu dengan meminta Pemkot Bekasi untuk bersikap dewasa. Pemkot diminta tidak begitu saja menutup TPA Bantar Gebang tanpa mempelajari latar belakang persoalan.

Balasan inilah yang mendapat reaksi dari pihak eksekutif dan legislatif di Kota Bekasi. Awalnya, ancaman itu dimaksudkan agar pengelola TPA segera memenuhi kewajibannya, tetapi berujung pada perseteruan dua pemerintahan daerah.

Dari peristiwa itu semakin terlihat bahwa sampah masih sarat dengan permasalahan. Persoalan bukan hanya pada proses pengumpulan sampah seperti yang sering dikeluhkan saat ini, atau sulitnya mencari tempat pembuangan akhir, tetapi pembayaran sampah juga masih bermasalah.

Di Ibukota, membuang sampah tidaklah gratis. Seperti di perumahan, setiap pengembang atau RT/RW memungut iuran sampah bagi warganya. Dana inilah yang digunakan untuk membayar uang jasa sampah.

Pungutan sampah memang bisa dimaklumi oleh warga karena memang sangat sulit untuk mendapatkan lokasi pem- buangan akhir. Beberapa lokasi telah dipilih sebagai TPA, namun selalu direspons negatif oleh warga sekitar.

Siapa bersedia hidup berdampingan dengan tumpukan sampah yang membukit? Sampai dicari solusi dengan mencari tempat pengolahan sampah terpadu di Bojong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Walaupun bukan sebagai TPA, warga sekitar tetap menolak daerahnya dijadikan tempat pengolahan sampah.

Pada akhirnya, TPA Bantar Gebang di Bekasi merupakan satu-satunya lokasi yang paling memungkinkan bagi Pemprov DKI untuk membuang sampah. Dan, memang itu tidak gratis, ada uang jasa yang harus diberikan kepada pengelola, yang kemudian disampaikan ke Pemkot Bekasi.

Kita menilai bahwa perseteruan antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi sebenarnya tidak perlu terjadi. Apalagi pemanfaatan TPA Bantar Gebang sudah dilakukan melalui memorandum of understanding (MoU) sehingga bisa diselesaikan secara hukum. Perdebatan di publik justru akan memperlihatkan ketidakdewasaan kedua belah pihak dalam mengatasi persoalan.

Memang wajar Pemkot Bekasi menagih uang jasa yang belum juga dibayarkan selama hampir lima bulan. Tetapi alangkah lebih bijaksana apabila "cara menagihnya" dilakukan tanpa mengeluarkan ancaman. Demikian pula Pemprov DKI Jakarta yang sangat berkepentingan dengan TPA Bantar Gebang perlu melihat persoalan tersebut dengan bijaksana.

Kita juga berharap agar perusahaan pengelola TPA Bantar Gebang bersikap profesional, dengan tetap menghargai MoU yang telah disepakati bersama. Akhirnya, jangan sampai persoalan sampah menjadi berlarut-larut yang pada akhirnya merugikan semua pihak.

Post Date : 25 April 2006