|
Tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang menelan korban jiwa. Bukan lantaran pencemaran lingkungan yang ditimbulkannya. Sampah yang menggunung setinggi 18 meter, Jumat (8/9) dini hari kemarin, longsor. Hal yang sangat memprihatinkan. Ini harus disebut tragedi, setelah tahun sebelumnya peristiwa serupa, bahkan lebih besar yang menjadi korbannya, terjadi di Leui Gajah, Bandung, Jawa Barat. Sampah juga dibiarkan menggunung tanpa pernah ada upaya untuk menanganinya agar tidak menjadi bencana. Untuk kesekian kalinya kembali harus diakui bahwa sampah di kota-kota besar Indonesia, hingga kini, belum ditangani serius. Pemerintah, termasuk pemerintah daerah, baru sebatas menumpuk saja, kendati warga telah menyisihkan pendapatan mereka untuk pajak atau retribusi sampah. Belum ada langkah yang konkret untuk mengelola sampah agar tidak menjadi bencana. Khususnya TPA Bantar Gebang, dua tiga tahun silam pernah diminta warga agar ditutup lantaran mencemari lingkungan. Radius pencemarannya cukup luas, sehingga mengundang protes warga. Mereka mengeluh limbah sampah telah mencemari air tanah. Jakarta, ketika itu, sempat kebingungan. Mau ke mana sampah warganya harus dibuang. Tidak ada lokasi lain kecuali di Bantar Gebang. Beruntung, protes warga tidak ber-kepanjangan, setelah dijanjikan bahwa pengelolaan sampah di Bantar Gebang akan lebih baik lagi. Antara Pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Kota Bekasi membuat kesepakatan untuk sama- sama menangani sampah di situ lebih profesional. Dari situ ditunjuklah satu badan usaha swasta untuk menangani sampah di Bantar Gebang agar minimal tidak mencemari lingkungan. Artinya, tempat itu bukan lagi menjadi gudang penyimpanan sampah, tapi sampah di situ harus musnah. Bagaimana caranya, tentu hal ini bukanlah persoalan yang baru lagi. Sebab, kota-kota besar di negara maju banyak yang berhasil menangani sampah dengan teknologi yang juga tidak terlalu mahal. Namun dalam perjalanannya, bukannya sampah dikelola agar tidak menjadi bencana, tapi terjadi tarik menarik kepentingan, antara Pemerintah Provinsi DKI, Pemerintah Kota Bekasi, dan badan usaha tersebut. Lagi-lagi yang dikejar hanya keuntungan belaka. Penanganan sampah secara profesional yang dijanjikan tak pernah kelihatan wujudnya. Kekeliruan ini terkesan sama sekali dibiarkan. Padahal warga sangat mencermatinya. Maka, ketika ada niat untuk membuka tempat pengolahan sampah di Bojong, Bogor, warga di sana menolaknya. Penolakan yang sangat wajar karena mereka tidak pernah melihat bukti, setidaknya di Bantar Gebang, bahwa sampah telah ditangani serius dan pro- fesional. Mereka tetap menolak kendati berkali-kali didekati dan dijelaskan bahwa penangannya tidak seperti di Bantar Gebang. Mereka tetap khawatir lingkungan di situ tercemar, meski didengung-dengungkan bahwa yang akan mengelola adalah pemodal besar dan telah berpengalaman di bidangnya. Yang terucap hanya satu kata, "Tolak." Kita memang kembali harus menunggu, entah berapa lama lagi. Berbagai pemikiran, pandangan sudah berkali-kali disampaikan. Dalam forum diskusi, seminar, dan di forum-forum dengan skala yang lebih besar lagi dibahas cara menangani sampah. Catatan kelemahan dan usulan perbaikan dihimpun menjadi satu rekomendasi agar diwujudkan pemerintah, baik provinsi, kota, dan kabupaten. Pejabat atau utusannya yang hadir menyatakan kepuasannya telah mendapat masukan yang kemudian berjanji akan dibahas lebih lanjut untuk diwujudkan. Namun tunggu punya tunggu, lagi-lagi soal penanganan sampah selalu kembali dari titik nol. Sampah menumpuk, sampah menggunung dan kembali menelan korban jiwa. Belum lagi tragedi Leui Gajah diatasi tuntas, di Sidoarjo kebanjiran lumpur. Tiba-tiba kabar buruk dari Bantar Gebang, ah...sampah lagi. Itulah kesibukan kita. Post Date : 09 September 2006 |