|
Kesadaran betapa sampah bisa sangat berguna jika orang tahu memanfaatkannya. Pembelajaran dan pemberian contoh nyata perlu terus-menerus digalakkan. Pembelajaran itulah yang bisa didapatkan di Kebun Karinda di perumahan Karang Tengah Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Siapa saja bisa datang untuk belajar secara gratis. Membiarkan tumpukan sampah begitu saja tanpa dimanfaatkan, ternyata berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat itu sendiri. Sampah-sampah berserakan itu menjadi pintu masuk pembelajaran dalam pengelolaan dan pengolahan sampah sejak dari rumah. Hal itulah yang tanpa kenal lelah dilakukan mantan Menteri Kehutanan di era Soeharto, Djamaludin Suryohadikusumo (72) bersama istrinya Sri Murniati (62) sekitar setahun lalu. Pasangan itu terusik ketika pengembang perumahan membuang sampah di belakang tembok rumah mereka sehingga lalat-lalat berterbangan hingga ke rumahnya. Saat itu mereka lalu berupaya untuk mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Mereka pun belajar untuk mencari cara memanfaatkan sampah. "Prinsip kita, sampah organik jangan sampai keluar dari rumah. Dengan cara ini kan pembuangan sampah sudah berkurang," kata Sri. Sri mengatakan mereka pernah menyebarkan angket ke 220 pemilik rumah di Perumahan Bumi Karang Indah untuk mengetahui tingkat ketertarikan dan kepedulian penghuni perumahan terhadap lingkungan. Hasilnya, hanya sekitar 20 persen yang merespon. Namun, pasangan pecinta lingkungan ini tidak menyerah. Mereka menjadikan rumah sebagai contoh. Pembuatan kompos dilakukan. Komposnya dipakai untuk memupuk tanaman di sekitar rumah sehingga warga pun tertarik. Keinginan yang besar untuk menyadarkan warga supaya bisa mengelola sampah dari rumah membuat Sri dan suaminya mau berbagi ilmu kepada siapa saja. Banyak pihak berdatangan ke rumah. Pembelajaran awalnya dilakukan di halaman rumah. Seiring berjalannya waktu, pihak luar juga banyak yang tertarik untuk belajar soal sampah. Dengan melakukan pendekatan kepada pengembang, akhirnya lahan tidur seluas 300 meter di dekat rumah Sri dipinjamkan. Lahan itu disulap komite lingkungan menjadi kebun Karinda. Di sinilah, proses berbagai ilmu alias kursus singkat sekitar dua jam sering dilakukan. Dalam satu bulan, transfer ilmu bisa diserap 100 orang dengan gratis. Memasuki kebun Karinda yang merupakan taman berwawasan lingkungan memang sungguh nyaman. Ada saung yang bisa menampung 40 orang untuk belajar. Lalu ada saung tempat pengolahan sampah dengan berbagai model. Di sini juga ada taman bunga, petak-petak contoh tanaman obat, sayuran. Selain itu ada pembibitan tanaman pelindung, tanaman hias, sayuran dan tanaman obat. Dari warga di sini, memang baru 24 rumah yang mau membuat kompos. Penolakan dilakukan dengan alasan sibuk, untuk apa berlelah membuat kompos. Kompos bisa dibeli. Akan tetapi Sri dan warga peduli lainnya tak putus asa. Pembantu di rumah warga pun dimintakan izin untuk belajar. "Memang tidak mudah untuk mengubah perilaku membuang sampah, meskipun bisa dibilang di sini warganya kelas menengah atas," ujar nenek empat cucu ini. Daun bermanfaat Pembelajaran juga dilakukan kepada penyapu di kompleks. Bahkan, ada satu lokasi pembuatan kompos untuk mereka yang bisa menghasilkan 200 kilogram/bulan. "Sekarang daun-daun di sini sudah tidak gratis. Penyapu jalanan sudah bisa membuat kompos sehingga mereka tidak lagi mau membuang daun begitu saja," kata Sri. Kursus sampah di kebun Karinda ini terbuka untuk siapa saja. "Sambil arisan atau pengajian dulu di saung, lalu belajar soal sampah juga boleh," ujar Sri. Sri juga sering mengajak warga yang datang sekalian belajar daur ulang kertas di tempat kursus yang tidak jauh dari rumahnya. (Ester Lince Napitupulu) Post Date : 14 September 2006 |