Berbau, keruh, dan tidak lancar adalah keluhan yang paling sering disampaikan konsumen Perusahaan Daerah Air Minum. Bahkan, ada pelanggan yang memperoleh air PAM lebih kotor daripada air bekas cucian.
”Ini tidak sesuai dengan janji pelayanannya yang seharusnya memenuhi standar air minum,” kata Koordinator Advokasi Air Minum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Karunia Asih Rahayu, Selasa (5/7).
Direktur Utama PAM Jaya Maurits Napitupulu menyalahkan mitra swasta sebagai penyebab rendahnya kualitas air yang didapat pelanggan. Maurits menilai, mitra swasta PAM Jaya tidak berupaya mencari terobosan untuk mengatasi kekurangan air. ”Tidak ada inovasi teknologi yang dilakukan untuk mencari alternatif sumber air baku yang terbatas,” kata Maurits.
Mencari air baku untuk keperluan air minum warga Jakarta dari hari ke hari semakin berat. Dari 13 sungai yang mengalir di Jakarta, tidak satu pun yang berkategori layak sebagai sumber air minum.
Akibatnya, kebutuhan air baku harus dicari dari luar wilayah DKI Jakarta, yaitu dari Waduk Jatiluhur dan Tangerang. Menurut Manajer Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional Walhi M Islah, secara ekologi hal itu mengindikasikan kondisi kota Jakarta sangat memprihatinkan. ”Kota ini sudah tidak mampu menghidupi dirinya sendiri,” kata Islah.
Ia mencontohkan Tarum Barat, saluran induk yang menjadi salah satu sumber air baku PDAM , mengalami degradasi dari sisi kuantitas maupun kualitas. Aktivitas industri dan rumah tangga menyumbang porsi cukup besar terhadap penurunan kualitas air. Hanya 400 dari sekitar 4.000 industri di Jakarta yang mengelola limbahnya. Minimnya sistem sanitasi di Jakarta mengakibatkan limbah seluruhnya dibuang ke sungai. Rendahnya kualitas air Tarum Barat, antara lain, ditunjukkan dengan tingginya konsentrasi deterjen.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Walhi, konsentrasi deterjen dalam air baku naik signifikan dari tahun ke tahun. Tahun 1998 konsentrasi deterjen tercatat 0,12 mg/l dan menjadi 0,17 mg/l setahun berikutnya. Padahal, standar konsentrasi deterjen adalah 0,05 mg/l. ”Bandingkan dengan kondisi tahun 1994 di mana konsentrasi deterjen hanya 0,016 mg/l,” kata Islah.
Kualitas air baku yang semakin berkurang berdampak pada biaya produksi yang semakin mahal karena bahan kimia yang digunakan untuk membersihkan semakin banyak. Bahan kimia pembersih yang digunakan, antara lain, aluminium sulfat dan poli aluminium klorida sebagai zat koagulan. Selain itu, ada juga pemercepat koagulan Sudlok C dan penetral berupa kapur tohor.
Direktur Teknik PAM Jaya Sri Wijayanto mengatakan, biaya bahan kimia yang dibutuhkan mencapai 30 persen dari total biaya produksi yang sekitar Rp 1.250 per meter kubik.
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta mengategorikan Ciliwung sebagai tercemar berat. ”Pemerintah DKI Jakarta ingin agar Ciliwung dinaikkan kelasnya supaya bisa dipakai sebagai sumber air baku, tetapi tidak ada dukungan dari pemerintah daerah yang menangani daerah hulu,” kata Islah.
Islah mengatakan, rendahnya kualitas air harus diatasi dengan pemulihan secara integratif dari hulu ke hilir. Pemulihan di hulu mencakup pemulihan daerah tangkapan air, seperti daerah Bogor. Adapun pemulihan di hilir mencakup rehabilitasi badan air sungai-sungai yang melewati wilayah Jakarta.
”Sangat disayangkan, pemerintah justru mengambil langkah pragmatis,, yaitu dengan membuat jalur pipa dari Waduk Jatiluhur ke Jakarta. Langkah ini hanya berdampak jangka pendek,” kata Islah.(DOT)
Post Date : 08 Juli 2011
|