JAKARTA(SINDO) – Kualitas air tanah di Jakarta buruk dan tak layak konsumsi.Kondisi ini sudah terjadi sejak lama.Sayangnya hingga kini penggunaan air tanah masih marak terjadi.
Data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta di lima wilayah pada 2004 menunjukkan, air sungai maupun air tanah memiliki kandungan pencemar organik dan anorganik tinggi. Akibatnya, air sungai dan air tanah di DKI Jakarta tidak sesuai lagi dengan baku mutu peruntukannya yaitu air minum, perikanan, pertanian, dan usaha perkotaan lainnya. Kepala BPLHD DKI Jakarta Peni Susanti mengatakan, tingginya tingkat pencemaran air di Jakarta terutama berasal dari limbah domestik, yakni septic tank.Menurut dia,air tanah di Jakarta banyak mengandung bakteri coliform dan fecal coli.
Tingkat pencemarannya mencapai 55%.Saat dilakukan pemantauan kualitas air tanah di 48 sumur di lima wilayah pada 2004, sebanyak 63% mengandung bakteri coliformdan 75% mengandung fecal colimelebihi baku mutu.Tentu saja untuk tahun ini jumlah tersebut terus meningkat. ”Air tanah tidak layak untuk konsumsi namun yang menggunakan air tanah masih banyak,”kata Peni kemarin. Sementara,data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menunjukkan lebih dari 53% pelanggan air bersih di Jakarta menyedot air tanah untuk keperluannya.Artinya, hanya 47% konsumen yang menggunakan fasilitas air pipa (PAM). Itu pun dalam jumlah pemakaian yang tidak signifikan.Dengan kata lain,tetap memanfaatkan air tanah hasil pengeboran untuk kebutuhan sehari-hari.
Dari 53% pengguna air tanah tadi, sebagian besar konsumen rumah tangga.Selebihnya perkantoran, apartemen, mal, hingga industri. Akibat eksploitasi terus-menerus dalam waktu yang lama, daya dukung lahan makin berkurang. Berbagai upaya telah ditempuh Pemprov DKI guna menekan eksploitasi air tanah secara berlebihan. Salah satunya dengan menaikkan pajak air bawah tanah.Pajak air tanah memang belum sempat dinaikkan sejak 1999 sehingga memicu pengambilan air tanah secara berlebihan sehingga permukaan tanah di Jakarta terus menurun. Peni menambahkan, persentase kualitas air yang baik untuk dikonsumsi jumlahnya semakin sedikit.
Di wilayah Jakarta Utara hanya 13% yang baik dikonsumsi,Jakarta Barat 7%, Jakarta Pusat 9%, sedangkan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur masing-masing 35%. Dengan fakta tersebut, sudah seharusnya warga Jakarta tidak lagi mengonsumsi air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, hingga Agustus 2010 jumlah sumur bor air tanah di DKI Jakarta mencapai 4.011 buah dengan jumlah pengambilan sebagai beban pajak mencapai sekitar 20 juta meter kubik per tahun. Menurut dia, jika pengambilan air tanah ini terus dilakukan akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup parah. ”Selain tidak layak konsumsi, pengambilan air tanah akan mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan,”terangnya.
Beberapa kerusakan itu yakni terjadinya penurunan muka air tanah, amblesnya permukaan tanah, dan penyusupan air asin yang berasal dari laut. Untuk itu,dalam rangka terwujudnya Kota Jakarta yang memiliki lingkungan berkelanjutan, maka pengelolaan lingkungan harus dikembangkan dengan berbagai perangkat kebijakan program.”Langkah perlindungan dan pengelolaan air tersebut harus mengacu pada konsep 5R yaitu reduce,reuse,recharge,recycling,dan recovery,”ujarnya. Sedangkan tingkat ketersediaan air tanah di Jakarta mengalami ancaman serius akibat penyedotan yang tidak terkendali,yaitumencapai40% daripotensinya 77 juta m3 per tahun.
Pengambilan air tanah yang tak terkendali itu menjadikancadanganairtanahhanya 52 jutameterkubikpertahun.Padahal, batas toleransi pengambilan air tanah 20%. ”Untuk itu, Pemprov berusaha keras mengendalikan kegiatan eksploitasi air tanah dengan memberikan jaminan ketersediaan airperpipaanyangdiusahakanPAM Jaya,”ungkapnya. Dia mengatakan, penurunan tingkat ketersediaan air tanah juga disebabkan berkurangnya lahan terbuka untuk resapan air hujan dan penurunan volume air yang mengalir dari wilayah di selatan Jakarta,seperti Bogor,Cianjur,dan Tangerang, dari 17 juta meter kubik per tahun menjadi 15 juta meter kubik per tahun.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga mencatat, sebagian besar sumur air tanah di Jakarta mengandung bakteri coliform dan fecal coli. Selain itu, kualitas besi (Fe) dari air tanah di wilayah Jakarta terlihat semakin meningkat, di mana beberapa sumur memiliki konsentrasi Fe melebihi baku mutu. Dari pemantauan, sumur yang ada di Jakarta berwarna kuning dan agak berbau.”Kondisi air tanah di Jakarta memang sudah sangat buruk,”terang Ketua Walhi DKI Jakarta Ubaidillah. Di sisi lain, tingginya penggunaan air tanah akan menyebabkan penurunan permukaan tanah di Jakarta setiap tahun.
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Ahmad Harjadi mengungkapkan, penurunan permukaan tanah di wilayah Jakartaterusterjadi. Menurutdia,jikatak segera diselesaikan, akan menjadi masalah serius di masa mendatang. Harjadi mencontohkan kawasan Jakarta bagian utara yang mengalami penurunan 45 cm per tahun. Dengan demikian,dalam 10 tahun bakal terjadi penurunan permukaan tanah hingga setengah meter. Jika dibiarkan terus,maka dalam jangka waktu 20 tahun bakal turun hingga satu meter. Sementara itu, berdasarkan data yang dirilis Flood Study Team 2007,penurunan permukaan tanah di Jakarta cukup mengejutkan.
Dalam kurun waktu 18 tahun (1989–2007) penurunan permukaan tanah mencapai 40–60 cm. Dari tahun 2007 hingga tahun 2025 penurunan permukaan tanah juga diperkirakan mencapai 40–60 cm. (ahmad baidowi)
Post Date : 08 November 2010
|