Kualitas Air Baku Menurun

Sumber:Kompas - 23 November 2010
Kategori:Air Minum

Jakarta, Kompas - Ketersediaan air baku masih menjadi gangguan terbesar dalam produksi air bersih di Jakarta. Kualitas dan kuantitas air baku makin menurun. Meskipun telah ada beberapa rencana solusi, hingga kini belum ada penerapan teknologi terbaru untuk mengatasi masalah ini.

Joshua Tobing, Sekretaris Perusahaan PT Aetra Air Jakarta, mengakui, gangguan air baku menjadi masalah dominan.

”Gambarannya, jika ada 100 gangguan, yang 80 adalah masalah air baku,” kata Joshua, Senin (22/11). Aetra, misalnya, hanya memiliki satu sumber air baku, yaitu dari Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Ketika ada masalah pada air baku, Aetra tidak punya alternatif untuk mendapatkan pasokan pengganti.

Keterbatasan sumber air baku jelas berpengaruh terhadap layanan air bersih kepada pelanggan. ”Jika kualitas air bakunya sangat buruk, kami terpaksa menghentikan produksi. Jadi, tak ada suplai air kepada pelanggan untuk sementara waktu,” katanya.

Padahal, tambah Joshua, jika produksi dihentikan selama dua jam, maka air akan berhenti mengalir selama empat jam.

Buruknya kualitas air baku itu disebabkan oleh pencemaran yang terjadi di aliran dari Jatiluhur menuju instalasi pengolahan air bersih di Buaran dan Pulogadung.

Pencemaran terjadi karena aliran Kanal Tarum Barat atau Kali Malang bersimpangan dengan Kali Bekasi yang sangat tercemar sehingga Kali Malang ikut tercemar. Standar kekeruhan yang ditentukan untuk kualitas air baku adalah 200 NTU (nepheletturbiditi unit).

”Tetapi kenyataannya sering kali didapatkan air baku dengan 2.000-3.000 NTU, bahkan sampai 28.000 NTU,” kata Joshua.

Dengan kualitas air baku yang buruk itu, Aetra kesulitan mengolahnya menjadi air bersih. ”Kalau kualitasnya seperti itu, seharusnya diolah dulu dari air kotor menjadi air baku, lalu diolah lagi menjadi air bersih. Sedangkan instalasi milik kami baru untuk pengolahan air baku menjadi air bersih,” jelasnya.

Selalu mundur

Untuk mengatasi masalah air baku itu, sebenarnya pemerintah pusat sudah menjanjikan membuat sifon (saluran bawah) atau pemipaan Kali Malang, tetapi hingga kini realisasi program belum terlaksana.

”Sifon itu membuat saluran untuk Kali Malang, yang letaknya di bawah Kali Bekasi. Jadi tidak ada persimpangan di antara keduanya. Sedangkan pipanisasi adalah memasukkan Kali Malang ke dalam pipa sehingga tidak ada pencemaran,” kata Joshua.

Untuk pembuatan sifon saja, pemerintah pusat berjanji akan memulai pada bulan Mei lalu. Namun, sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan dibuat sifon. ”Sifon yang hanya sekitar 500 meter saja sulit terlaksana, apalagi pipanisasi Kali Malang yang panjangnya 70 kilometer,” ujar Joshua.

Selain pembuatan infrastruktur itu, Joshua juga berharap pemerintah menerapkan penegakan hukum yang tegas kepada pelaku pencemaran Kali Bekasi.

Pengajar Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia dan anggota Badan Regulator Perusahaan Air Minum, Firdaus Ali, berulang kali meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membuat terobosan dalam penyediaan air bersih bagi warganya. Saat ini, dengan buruknya kondisi lingkungan di Jakarta, sekitar 800 juta meter kubik air setiap tahunnya menguap begitu saja.

Di sisi lain, kondisi sungai masih amat buruk sehingga sulit diolah menjadi air baku. Oleh karena itu, Firdaus meminta agar jaringan sanitasi dan pengolahan limbah domestik harus dibangun. Pengolahan limbah yang benar dapat menghasilkan air baku dan mampu memenuhi kebutuhan dasar dalam produksi air bersih.

Solusi jangka panjang, Firdaus meminta DKI segera memikirkan pembuatan deep tunnel yang berfungsi ganda, yaitu sebagai ruas jalan tambahan, pengendali banjir dan limbah, serta mempercepat penyerapan air hujan ke dalam tanah. (NEL/ARN)



Post Date : 23 November 2010