|
JAKARTA(SINDO) – Kualitas air baku saluran Tarum Barat (Kalimalang) yang berasal dari Waduk Jatiluhur kian mengkhawatirkan. Bukan hanya persoalan kualitas, kontinuitas pasokan juga mengalami kendala. Ketua Badan Regulator (BR) Air Minum DKI Jakarta Irzal Z Djamal mengatakan, kondisi tersebut menyebabkan biaya produksi kedua operator air minum,yakni PT Aetra dan Palyja yang merupakan mitra BR Air Minum, kian membengkak terutama peningkatan biaya akibat harus menambah biaya penjernihan air. ”Kalau kualitas airnya makin rendah, operator juga terpaksa mengeluarkan dana lebih besar untuk bahan kimianya,” kata Irzal kemarin. Direktur Utama PT Jasa Tirta II (PJT II) selaku pengelolaTarum Barat,Djendam Gurusinga, mengatakan bahwa turunnya kualitas air baku tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi nasional dalam dua dekade terakhir yang mendorong permintaan pasokan air baku. Di sisi lain,prasarana dan sarana pengairan oleh pemerintahbelummampumengimbangi laju pertumbuhan kebutuhan tersebut.”Akibatnya berdampak pada munculnya kesenjangan antara kemampuan pelayanan dengan harapan dan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya. Sementara itu, kendala fisik sarana dan prasarana pengairan maupun lingkungan membuat kapasitas Kanal Tarum Barat tidak mampu lagi mengalirkan air sesuai dengan debit yang direncanakan. Terlebih kebutuhan tambahan terus meningkat. Kualitas yang tidak memadai juga diperburuk dengan sistem penyaluran, yang saat ini tidak memiliki jalur pelindung (buffer zone) baik terhadap kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut diperparah alih fungsi bantaran kali yang menjadi permukiman padat penduduk serta makin tipisnya tingkat kepedulian terhadap pelestarian sumber daya air. ”Tak terelakkan, tingkat pencemaran di Sungai Citarum dan Kalimalang semakin tinggi,”ungkapnya. Apalagi dengan terbatasnya anggaran, PJT II belum mampu melakukan pemeliharaan sarana dan prasarana irigasi pengairan secara berkala. Guna menjamin kualitas pasokan air baku ke Ibu Kota, Djendam menyarankan BR Air Minum membangun instalasi pengolahan air minum (IPA) di wilayah hulu Sungai Citarum,atau tepatnya di daerah Waduk Jatiluhur atau Curug,Jawa Barat. Hal tersebut untuk menjamin kualitas dan ketersediaan air baku yang akan diolah PT Aetra dan Palyja. ”Saya sarankan untuk membangun stasiun pengolahan air di area Waduk Jatiluhur atau Curug,”tukasnya. Djendam menjelaskan,letak IPA yang berlokasi di hilir sungai atau wilayah Jakarta membuat kualitas dan pasokan air baku yang masuk tidak dapat terjamin. Pasalnya, air baku dari Waduk Jatiluhur sebelum masuk Jakarta,juga dimanfaatkan para petani di wilayah Subang dan Karawang. Tentunya pasokan dan kualitas air baku akan lebih baik,apabila mengambil langsung di wilayah Jatiluhur. ”Kami mengusulkan hal itu kepada Dirjen Cipta Karya,apabila pemerintah berencana membangun IPA, ”ujarnya. External Relations & Communication Director PT Aetra Rhamses Simanjuntak mengatakan, persoalan utama yang menjadi kendala operator adalah tingkat polutan air baku semakin tinggi. Hal ini menyebabkan biaya produksi relatif membengkak antara 5–6%.Polutan seperti deterjen,mangan,besi semakin meningkat ketika memasuki musim kemarau. ”Persoalan yang rumit ketika kemarau polutan tinggi,sedangkan musim hujan kekeruhan juga meningkat. Dua hal tersebut memicu peningkatan biaya produksi,”tandasnya. (helmi syarif) Post Date : 20 Oktober 2008 |