|
TEGALSIWALAN - Bulan puasa tiba, krisis air masih harus dirasakan warga Desa Tegalsono, Tegalsiwalan Kabupaten Probolinggo. Air untuk kebutuhan hidup semakin susah didapat. Siang kemarin puluhan warga tampak antre di pinggir balai desa. Laki, perempuan, tua, muda bahkan anak-anak semua datang bergantian mengisi jirigen dari tangki bantuan air pemkab. Tangki berisi 6.000 liter air bersih itu habis dalam sesaat. Terang saja mereka berebut. Datangnya bantuan air itu tak mereka temui tiap hari. Paling cepat seminggu tangki berisi air bersih itu datang menyambangi kampung mereka. "Biasanya Pak Kades yang memberi tahu kalau persediaan air sudah menipis. Saat itulah kami datang membawa air kemari," ujar salah seorang petugas pengiriman air bersih Pemkab Probolinggo. Nurlaila, warga setempat, mengaku soal kekeringan adalah cerita lama di desanya. Dari zaman kakek buyutnya, cerita tentang warga desa yang kekurangan air sudah ada. "Memang seperti ini dari tahun ke tahun. Tidak pernah berubah," katanya. Menurutnya, kekurangan air di desanya tidak terjadi hanya saat musim hujan tiba. "Warga menampung air hujan dari talang. Dengan pipa panjang air itu dialirkan ke tandon di dalam rumah. Dari air itulah kami memasak, minum dan mandi," ujarnya kepada Radar Bromo siang kemarin. Namun di musim kemarau kondisi berubah. Tak ada air hujan yang bisa ditampung. Sementara kebutuhan air untuk hidup tak pernah mengenal musim. "Kalau sudah musim kemarau begini kami terpaksa membeli. Kadang ke pengecer. Kadang juga ke Ranu Bedali," kata Nurlaila. Membeli ke pengecer harganya lebih mahal dibanding membeli langsung ke Ranu Bedali. "Kalau beli di pengecer harganya Rp 1000 per jirigen (ukuran 30 liter). Tapi kalau mau langsung ke Ranu Bedali harganya hanya Rp 200 per liter. Tapi harus ngambil sendiri pakai sepeda," ujar perempuan berjilbab ini. Laila bercerita, untuk kebutuhan sehari saja keluarganya menghabiskan minimal 90 liter. Untuk mandi, mencuci, memasak dan air minum. "Paling sedikit habis 3 jirigen ukuran 30 liter. Kadang juga lebih," katanya. Untuk lebih menghemat, keluarga Laila sering membeli air dalam ukuran tangki kecil. Tangki itu berukuran 270 liter. Untuk tiap tangki air ia harus membayar Rp 8000. Sebenarnya warga yang mampu secara ekonomi meminta aliran air dari PDAM. Namun, hingga sekarang desa kering berpenduduk 694 KK itu tetap belum dijangkau PDAM. Asmali Kepala Desa setempat bercerita tentang usahanya mendatangkan air. Bukan hanya mengundang PDAM, menurutnya pemerintah juga mengusahakan melakukan pengeboran. "Dua kali kita melakukan upaya pengeboran. Namun kedua-duanya tidak berhasil. Di kedalaman 150 meter air tetap tidak keluar. Ada semacam rongga bebatuan di dalam tanah yang membuat usaha itu gagal," katanya. Ikhtiar itu tidak berhenti. Sekarang, dilakukan lagi pengeboran direncakan bakal dilakukan lagi di wilayah terdekat.. Semoga saja berhasil. Kalau bisa semua warga desa tentu akan senang. Di sini ada 4 dusun. Semuanya kekeringan," katanya. (nyo) Post Date : 13 September 2007 |