|
KONFLIK antara penduduk dan sejumlah perusahaan air minum di Kabupaten Sleman yang kian sering muncul di halaman depan koran dalam dua bulan terakhir, ibarat ronde awal dari pertarungan argumentasi menyangkut penolakan atas penetapan Merapi sebagai Taman Nasional Gunung Merapi. MENGAPA Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) kita tolak? Para petani dan warga Sleman marah pada dua perusahaan air minum di Kota Yogyakarta dan satu perusahaan air minum di Sleman. Ketiga perusahaan air minum itu diduga kuat "mencuri" jatah air melebihi kapasitas yang ditentukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) bagi perusahaan air minum itu. Anehnya, pekan lalu, di tengah krisis air yang sudah lama dirasakan penduduk dan petani Sleman, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X justru meresmikan perusahaan air minum kemasan Evita yang dipasok PDAM Sleman. Ratusan petani dan penduduk Sleman sempat akan merusak jaringan pipa air PDAM Kabupaten Sleman yang telah menyedot jatah pengairan untuk petani dari mata air Umbul Wadon di Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. "Kami bukan lagi gagal panen, tetapi gagal tanam karena air untuk mengairi sawah tidak cukup. Padahal, sebagai orang Merapi kami kaya dengan air. Mengapa kami bisa kekeringan? Ini gara-gara sikap PDAM yang mau menang sendiri," keluh Basuki (34), petani Dusun Panguk, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Keluhan petani yang bertempat tinggal sekitar 1 km dari mata air terbesar di lereng Merapi itu terjadi karena tiga perusahaan air minum diduga telah mengambil air dari mata air itu melampaui batas yang disepakati. Para petani di Kecamatan Cangkringan, Ngemplak, mengeluhkan, sawah mereka kekeringan karena air irigasi dari Kali Kuning semakin mengecil. PDAM Sleman, menurut hasil pengukuran Dinas Pengairan Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam (PPPBA) Sleman, pada Desember 2003 telah mengambil air sebanyak 192,50 liter/detik dari Umbul Wadon. PDAM Tirta Marta (Kota Yogya) mengambil 42,30 liter/detik, Perusahaan Daerah Anindya atau Argajasa (Kota Yogya) 6,16 liter/detik, dan PDAM Sleman terbanyak yaitu 192,3 liter/detik. Padahal, jatah air minum bagi petani dan masyarakat sekitar Merapi hanya 19,58 liter/detik dan irigasi petani hanya 98 liter per detik. Menurut data PPPBA, jumlah air yang dipakai ketiga perusahaan air minum itu sekitar 260,54 liter per detik atau 72,6 persen dari total debit air Umbul Wadon (300 liter per detik). Bandingkan dengan ketentuan Amdal: PDAM Sleman hanya berhak atas 35 persen debit Umbul Wadon sebagai sumber air minum bagi pelanggannya. Lalu, jatah konservasi 15 persen dan irigasi 50 persen. Maka, "penyerobotan" air secara berlebihan oleh PDAM Sleman, dan perusahaan air minum lain, diduga kuat sebagai pemicu petani kehilangan air irigasi. Yang membuat warga nyaris "meletus" seperti Merapi karena "pencurian" air itu baru terbongkar kasusnya setelah empat tahun berjalan dan berkali-kali warga berunjuk rasa. Atas tekanan masyarakat, Pemerintah Kabupaten Sleman dipaksa mengembalikan jatah pembagian air Umbul Wadon sesuai Amdal. Akhir Mei 2004 ketiga perusahaan air (dua Yogya, satu Sleman) itu harus menjebol pipa-pipa air by pass (pipa air yang tidak melalui alat ukur) yang dipasang oleh PDAM Sleman. Diduga, pipa by pass digunakan oleh PDAM untuk mengambil air secara gelap. Jika Anda berkunjung ke Yogya hari-hari ini, kerabat Anda di Sleman atau Kota Yogya mungkin tak mengizinkan Anda untuk mandi. "Rumah saya tadi pagi enggak ada air Mas karena PDAM sedang didemo dan katanya terancam bangkrut," ujar seorang rekan yang bermukim di Condongcatur, Sleman. KRISIS air yang terjadi di kawasan sebelah selatan Gunung Merapi (Sleman dan Yogyakarta) telah sampai pada titik mencemaskan. Dampak krisis ini harus ditanggung oleh seluruh penduduk Provinsi DIY. Di samping "mismanajemen" dalam pengelolaan air oleh ketiga perusahaan air minum, faktor kunci pemicu krisis air adalah eksploitasi pasir yang nyaris tanpa kontrol, di Magelang (sisi barat Merapi), Sleman (selatan Merapi), Klaten (tenggara Merapi), maupun Boyolali (timur dan utara Merapi). Apa boleh buat, semua kabupaten yang ada sebenarnya menikmati hasil dari eksploitasi pasir secara liar. Bertahun-tahun pemkab-pemkab itu membiarkan perusakan lingkungan secara sistematis dan berlangsung amat dahsyat. (K10/TOP/HRD) Post Date : 07 Juni 2004 |