|
KRISIS air bersih telah melanda hampir seluruh wilayah di Indonesia. Ini tentu berbanding lurus dengan musim kemarau yang berkepanjangan dan terlambatnya hujan turun. Kelangkaan air bersih memaksa sebagian rumah tangga, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan menggeser pola konsumsinya, yaitu membeli air minum dari sejumlah pemasok atau mencari sumber mata air seadanya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, ada di antara mereka yang berebut karena khawatir tidak kebagian. Tidak hanya itu, para petani di pelosok desa juga menderita kerugian. Banyak tanaman mereka, terutama padi, mati karena kekurangan air. Air sungai, misalnya, yang biasanya dijadikan andalan untuk mengairi sawah mengalami kekeringan. Akibatnya, sejumlah petani gagal panen yang bermuara pada penurunan pendapatan dari hasil pertanian. Pertanyaan yang bisa dimunculkan terkait krisis air yang melanda masyarakat Indonesia akhir-akhir ini adalah di mana peran negara dalam mengatasi semua ini? Apakah negara, yang memiliki fungsi menyejahterakan rakyatnya, sudah bekerja optimal? Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2010, hanya 36,6 persen penduduk Indonesia yang benar-benar bisa mengakses air bersih secara optimal, yakni minimal 100 liter per orang per hari. Secara nasional, penduduk yang kesulitan air bersih (di bawah 20 liter per orang sehari) jumlahnya berkurang dari 16,2 persen jadi 14 persen. Sungguh ironis mengingat 6 persen ketersediaan air dunia ada di Indonesia. Padahal, fasilitas penyediaan air bersih, terutama yang layak minum, sebenarnya sudah menjadi tanggung jawab negara/pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam UU tersebut, negara menjamin hak setiap orang mendapat air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari untuk memenuhi kehidupan sehat, bersih, dan produktif. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa penguasaan sumber daya air oleh negara digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Negara melalui Perusahaan Air Minum (PAM) sudah seyogianya menyediakan fasilitas air bersih bagi warganya. Namun pada kenyataannya, proporsi pelanggan PAM terus merosot. Berdasarkan data Susenas (2005-2009), proporsi pelanggan PAM nasional, yang di luar pelanggan eceran, turun dari 17,99 persen ke 10,72 persen. Sementara itu, privatisasi berbentuk perkembangan industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) lebih marak dikembangkan ketimbang fasilitas penyediaan air bersih oleh pemerintah. Tahun 2008 misalnya, jumlah perusahaan air kemasan skala besar dan menengah 548 unit. Produksinya 12,8 miliar liter. Selain itu, akibat pengeksploitasian secara membabi-buta oleh perusahaan-perusahaan air swasta ini, banyak terjadi kerusakan lingkungan. Harus diakui, “perampokan resmi" sumber daya air atas nama privatisasi telah membawa kerugian cukup besar bagi masyarakat. Parahnya, ini dijamin dalam undang-undang melalui UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UUSDA). Sejak lahirnya peraturan tersebut pada 19 Februari 2004, Peraturan Daerah (Perda) terkait privatisasi air semakin menjamur. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Dengan nafsu privatisasi yang semakin bergejolak, sejak 1997 setidaknya ada 20 investor asing dan domestik antre berinvestasi di sektor penyediaan air bersih di berbagai kota di Indonesia dengan nilai total investasi sebesar Rp3,68 triliun. Konsekuensi logisnya, hak atas air bagi rakyat terancam dengan adanya agenda rakus privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia tersebut. Melalui privatisasi ini pula, jaminan pelayanan hak dasar rakyat banyak tersebut ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar. Dalam hal ini, World Bank justru “mengamini" dengan menyatakan “Manajemen sumber daya air yang efektif harus memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis", dan “partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan". (World Bank, 1992). Kesengsaraan Rakyat Ketersediaan air bersih merupakan masalah yang sangat penting bagi kehidupan kita. Kita tidak bisa menghindar dari kebutuhan air bersih. Setiap hari kita membutuhkan air bersih untuk minum, memasak, mandi, mencuci, dan sebagainya. Dengan air bersih tentu membuat kita terhindar dari penyakit. Karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab menjamin ketersediaan air bersih bagi masyarakat banyak. Problem kelalaian dalam mengelola Sumber Daya Air (SDA) akan berakibat bencana berupa kerusakan lingkungan. Dampak privatisasi SDA semakin nyata dirasakan masyarakat. Potret konflik SDA di berbagai daerah pun semakin tidak terbendung. Cepat atau lambat, krisis kelangkaan air akan semakin parah di Indonesia. Sejak tahun 1998, 208 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air. Bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Meluasnya krisis air di Indonesia akibat privatisasi air kerap memicu peluang Indonesia menjadi bagian dari negara yang mengalami kelangkaan air tersebut. Jika akar masalah tidak segera diselesaikan dan model pengelolaan air tidak segera diperbaiki, maka ini hanya akan menyengsarakan rakyat dan menimbulkan berbagai ancaman serius bagi rakyat Indonesia. Keyakinan pemerintah terhadap privatisasi yang membuat pemerintah seolah reaktif dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang memberi peluang menjual aset negara kepada investor swasta harus dihentikan. Persoalan klasik ini justru memiskinkan masyarakat. Di berbagai tempat, kebijakan tersebut tidak hanya membawa bencana lingkungan hidup, tetapi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Masyarakat tidak punya pilihan lain, kecuali melepaskan sumber alam dan tanah mereka. Karena itu, Pemerintah tidak seharusnya hanya mengejar keuntungan komersial yang bersifat jangka pendek dengan mengutamakan perusahaan-perusahaan air swasta yang mengeksploitasi sumber daya air tersebut. Sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk menghentikan privatisasi sumber daya air dan mulai memikirkan jangka panjang demi ketersediaan air bersih bagi seluruh rakyat Indonesia di masa datang. Ahmad Ubaidillah Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta Post Date : 11 September 2012 |