Krisis Air Bersih di Pantura Makin Parah

Sumber:Kompas - 20 November 2009
Kategori:Air Minum

Kuningan, Kompas - Kawasan pantura, seperti wilayah Kota/Kabupaten Cirebon, kini mengalami krisis air bersih. Jumlah mata air dan debit mata air dari tahun ke tahun terus menyusut. Jika tidak segera ditanggulangi, lima atau sepuluh tahun mendatang krisis air akan kian parah.

Data Badan Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) menyebutkan, pada 2004 di wilayah itu terdapat 156 mata air, tetapi kini berkurang menjadi 53 sumber mata air. Ada kekhawatiran jumlah tersebut akan turun pada tahun mendatang.

Dari segi debit, debit mata air Cipaniis di Kabupaten Kuningan, misalnya, dua atau tiga tahun lalu sekitar 1.050 liter per detik, tetapi tahun 2008 diperkirakan turun 850 meter liter per detik. Kemungkinan penurunan debit air tersebut masih ditelusuri BTNGC.

Selain itu, ada beberapa mata air yang muncul pada musim hujan saja, selama enam atau sembilan bulan. Setelah itu, pada musim kemarau mata air itu kembali susut, bahkan kering.

Keringnya mata air tidak hanya terjadi di area TNGC di daerah Kuningan. Dari pantauan, kondisi mata air di Kabupaten Cirebon yang berbatasan dengan Brebes, Jawa Tengah, juga berkurang.

Dasrib, warga Desa Babakan, yang biasa mencari kayu di Karoya, Kecamatan Pasaleman, Kabupaten Cirebon, mengatakan, lima tahun lalu air masih bisa ditemukan di lembah di bawah Desa Karoya. Di sekitar perbatasan hutan di desa itu juga terdapat sumber mata air Caringin. Akan tetapi, menurut mereka, beberapa tahun terakhir ini mata air tidak lagi muncul pada musim kemarau, apalagi setelah hutan produksi berubah menjadi perkebunan tebu.

Mata air Jamberancak di Desa Cigobang, Kecamatan Pasaleman, yang menjadi salah satu andalan warga, juga hanya berdebit kecil pada musim kemarau. Padahal, sepuluh tahun lalu, warga sekampung mengandalkan air dari mata air tersebut.

Rehabilitasi hutan

Kepala BTNGC Kurung, Kamis (19/11), menuturkan, rehabilitasi hutan tidak bisa ditawar lagi jika ingin sumber mata air tetap terjaga. Penyebab hilang dan turunnya debit sumber mata air selama ini, lanjut Kurung, ialah kerusakan di hulu. Selain kebakaran hutan, kerusakan area tangkap air juga disebabkan oleh pembukaan hutan menjadi ladang.

Setidaknya 6.500 hektar hutan konservasi di Gunung Ciremai berubah fungsi menjadi lahan perkebunan. Hal itu sudah berlangsung sejak lima tahun lalu.

Pembukaan hutan produksi juga terjadi di Kecamatan Pasaleman. Hutan produksi yang menurut warga masih terbentang di Karoya sepuluh tahun lalu kini sudah berkurang dan berganti menjadi ladang tebu. Perbukitan yang awalnya penuh dengan pohon kini gundul. "Penebangan pohon terbesar terjadi pada tahun 1998. Saat itu hutan milik perhutani dijarah dan ditebangi," kata Deddy Madjmoe, Ketua Perkumpulan Pecinta Kelestarian Alam Grage.

Selain perubahan fungsi hutan produksi menjadi lahan, berkurangnya air juga disebabkan penggalian pasir ilegal di sekitar hutan. Para aktivis lingkungan dan warga hingga kini menentang penggalian pasir tersebut karena berpotensi mengurangi area tangkapan air dan merugikan warga sekitar.

TNGC berencana merehabilitasi hutan konservasi yang kini berubah menjadi ladang. Direktur Yayasan Buruh dan Lingkungan Hidup Yoyon Suharyono juga mengusulkan adanya hutan tidak hanya di daerah kabupaten, tetapi juga di kota, sebagai penyerap air. (NIT)



Post Date : 20 November 2009