|
KALAU Anda pernah melintas di kota Pangkep, tentu bukan pemandangan aneh menyaksikan kuda dengan tumpangan jeriken di atasnya. Mereka adalah para pedagang air yang menjajakan jualan keliling kampung. Sudah lama kota ini mengalami krisis air bersih, namun belum tertalangi. Layaknya kota tua zaman Belanda, kota Pangkep tampak unik dengan berseliwerangnya kuda-kuda penarik dokar (orang Pangkep menyebutnya bendi). Pada pagi hari, saat kota ini memulai aktivitasnya, lalu lalang bendi sudah bisa kita saksikan. Selain mengangkut penumpang dari berbagai wilayah kampung yang menghubungkan kota Pangkep, bendi-bendi ini juga mengangkut air bersih untuk kebutuhan penduduk. Yang menarik kita saksikan karena bendi-bendi ini menelusuri seluruh jalur padat di jantung kota Pangkep. Tak ada rambu lalu lintas yang melarang mereka melintas. Itu karena bendi-bendi ini menjadi sumber kehidupan. Terutama karena merekalah yang mengantar air bersih ke rumah penduduk. Tak adakah PDAM di kota ini? "Ada, Pak, tapi airnya mampet terus. Jangankan rumah penduduk. Rumah sakit yang notabene fasilitas umum dan sangat vital, bahkan kerap kekeringan. Mungkin di rumah jabatan saja yang tak pernah kekeringan," ujar Talli, warga Pangkep. Krisis air bersih di Pangkep bukan kali ini saja terjadi. Setiap tahun menjelang musim kemarau, Juli dan Agustus warga sudah mulai merasakan betapa sulitnya air bersih ditemukan. Umumnya penduduk memang memiliki sumur dalam (bor), namun kondisi airnya kurang bagus. Tidak jernih dan banyak mengandung zat besi (fe). Sumur oleh penduduk hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan Mandi, Cuci dan Kakus (MCK). Sementara air bersih untuk kebutuhan minum harus dibeli dari para pabendi dengan harga yang cukup mahal Rp750 per jiriken. ($) Post Date : 06 Juli 2005 |