|
Balikpapan, Kompas - Krisis air bersih yang melanda Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, berakhir ketika Jumat (19/11) pagi turun hujan deras selama hampir tiga jam. Hujan yang turun sejak pukul 09.00 tersebut dimanfaatkan penduduk untuk menampung air sebanyak-banyaknya, karena sudah sebulan lebih mereka kesulitan mendapatkan air bersih akibat air ledeng tidak mengalir, dan hujan sudah beberapa bulan tidak turun. Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Balikpapan Syamsul Huda, Jumat petang, mengatakan, curah hujan di Balikpapan yang biasanya sekitar 50 milimeter, pada Jumat kemarin mencapai 100,4 milimeter atau dua kali lipat. Curah hujan ini pun merata di seluruh Balikpapan, bahkan hingga ke wilayah sekitarnya, seperti Kota Samarinda, Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, bahkan hingga ke perbatasan Kalimantan Selatan. Tingginya curah hujan ini karena di Pulau Kalimantan sebelah selatan garis Khatulistiwa terjadi pusaran angin konvergensi yang mengandung awan cukup tinggi. Curah hujan yang cukup tinggi ini diperkirakan akan terus berlangsung selama beberapa hari kemudian, dan selanjutnya Balikpapan akan memasuki musim penghujan. Andalkan pasokan air Berbeda dengan tempat lain, sebagian air sumur di Balikpapan tidak layak konsumsi, karena kandungan zat besinya sangat tinggi, selain berminyak dan berwarna kekuningan. Karena itu, penduduk mengandalkan pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Balikpapan. Hanya karena hujan yang tidak kunjung turun menyebabkan air di Waduk Manggar yang merupakan sumber air baku PDAM mengering, sehingga distribusi air kepada sekitar 60.000 pelanggan PDAM terhenti. Penduduk kota yang berjumlah sekitar 504.000 jiwa ini akhirnya mengandalkan pasokan air bersih dari tangki-tangki air yang didistribusikan PDAM dan sejumlah perusahaan swasta. Namun karena banyaknya permintaan, sedangkan pasokan air bersih sangat terbatas, menyebabkan harga air melonjak, dari harga resmi Rp 40.000 per tangki isi 3.000 liter menjadi Rp 300.000 per tangki. Begitupun air kemasan dalam galon isi 20 liter, sulit diperoleh karena diborong masyarakat yang kesulitan air. Beberapa tukang gali sumur juga memanfaatkan kondisi kesulitan air ini dengan memasang tarif sangat tinggi, dari Rp 1 juta per sumur pompa menjadi Rp 4 juta. Meski air sumur sebagian tidak layak dikonsumsi, penduduk memanfaatkan air sumur ini untuk mencuci piring, mencuci pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Seiring dengan meningkatnya pembuatan sumur pompa, harga pompa air melonjak tinggi. Pompa air merek Sanyo 130 watt yang asalnya Rp 280.000, melonjak menjadi Rp 325.000, sedangkan Panasonic 200 watt yang asalnya Rp 360.000 menjadi Rp 425.000. Namun, pompa air tersebut sangat sulit diperoleh di toko-toko, karena habis dibeli masyarakat. Begitupun jeriken dan tandon air sulit ditemukan, meski harganya melonjak cukup tinggi. Jeriken isi 30 liter yang asalnya Rp 17.000 melonjak menjadi Rp 22.000, tandon air isi 650 liter yang asalnya Rp 500.000 menjadi Rp 650.000, sedangkan tandon air isi 1.200 liter yang asalnya Rp 800.000 melonjak menjadi Rp 950.000. (THY) Post Date : 20 November 2004 |