|
Jakarta dua tahun lagi bisa mengalami krisis air bersih. Tanpa langkah yang strategis, perkiraan itu bisa terbukti.Saat musim kemarau beberapa waktu lalu banyak warga Jakarta kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka yang terbiasa menggunakan air tanah harus rela bangun pagi-pagi agar bisa menyedot air. Ternyata air yang keluar dari pompa manual maupun listrik tak banyak. Warga yang menjadi pelanggan air bersih dari perusahaan air minum juga mengalami masalah serupa. Suplai air tersendat-sendat. Mereka bahkan sering mendapat giliran kucuran air agar semua pelanggan bisa menikmati air. Itu terjadi karena sumber air baku yang akan dijadikan sumber air bersih tak lagi mencukupi. Lebih ironis lagi, banyak warga Jakarta yang juga masih kesulitan mendapatkan air bersih pada saat musim hujan. Terutama warga yang tinggal di dekat kawasan Pantai utara Jakarta, seperti Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Air tanah di Jakarta Barat dan Jakarta Utara sudah terinfiltrasi air laut. Bahkan, pada sebagian wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Pusat juga mengalami kondisi yang sama. Air payau, warna tak jernih, berbau, dan cepat berbusa. Mereka yang tak berlangganan air dari perusahaan air minum tentu harus mencari cara lain agar bisa memperoleh air. Ada yang memanfaatkan air isi ulang atau menggunakan air mineral. Bahkan, cukup banyak keluarga yang terpaksa memasak dengan air mineral. Mereka yang tak memiliki cukup dana lebih memilih membeli air dari pedagang keliling. Sumber air bersih di Jakarta memang terus menipis. Infiltrasi air laut makin meninggi, sementara cadangan air tanah juga makin berkurang karena daerah tangkapan (resapan) air terus menyusut. Air hujan mengalir ke permukaan tanah tanpa terserap oleh rongga atau pori-pori tanah. Akibatnya, air langsung mengalir ke daerah yang lebih rendah. Air mengalir ke sungai. Sayang, seluruh sungai di Ibu Kota sudah dangkal. Akibatnya, air meluap ke permukaan tanah dan membanjiri rumah-rumah penduduk. Air yang tak terserap pori-pori tanah akhirnya kembali lagi ke laut. Dengan fakta seperti itu Jakarta bisa terancam kekurangan air bersih. Tanpa strategi yang mantap dan jitu, penduduk DKI akan menjadi pengonsumi air mineral. Dampaknya akan terjadi pemborosan dana yang sangat besar. Air akan terus menjadi masalah karena perusahaan air minum di Jakarta juga belum bisa menjangkau seluruh warga. Di sisi lain, sumber air baku air bersih juga sangat terbatas. Saat ini suplai air baku berasal dari kawasan penyangganya di Jatiluhur dan Tangerang. Air dari Tangerang dan Jatiluhur untuk kawasan barat Ibu Kota diolah terlebih dahulu di instalasi pengolahan air baku Pejompongan oleh PT PAM Lyonesse Jaya (Palyja). Berdasarkan data BPLHD DKI Jakarta, saat ini suplai air bersih untuk penduduk Jakarta dari PAM Jaya baru mampu menjangkau 52,13 persen penduduk. Sisanya, 47,87 persen kebutuhan warga Jakarta dan industri atau kegiatan lainnya diambil dari air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Pada 2002 BPLHD memperkirakan penggunaan air tanah untuk suplai warga mencapai 222,83 juta meter kubik per tahun. Sebanyak 199,48 juta meter kubik diambil dari air tanah dangkal dan sisanya 23,25 juta meter kubik diambil dari air tanah dalam. Dengan perkiraan pada 1998 cadangan air tanah DKI mencapai 261,07 juta meter kubik maka pemanfaatan air tanah oleh penduduk Ibu Kota sudah mencapai 85,35 persen. Sebanyak 76,4 persen didominasi oleh pemanfaatan air tanah dangkal. Menurut Direktur Hubungan Institusi PT Palyja, Kumala Siregar, dengan angka pemanfaatan yang nyaris mencapai 86 persen, Jakarta diperkirakan akan mengalami defisit air baku pada tahun 2007. Menurutnya, jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan pengamanan dan konservasi terhadap suplai air diperkirakan Ibu Kota akan mengalami defisit air baku yang mencapai 214 meter kubik per detik. Kumala mengatakan, ada banyak tindakan pengamanan dan upaya untuk mencegah hal tersebut. Tindakan yang harus dilakukan adalah pengamanan terhadap sumber air, inventarisasi kebutuhan, dan mencari sumber air baru. Pengamanan ini penting dilakukan karena selama ini pasokan air ke Jakarta di bawah perjanjian kontrak dengan PJT2. Menurut Kumala, dalam perjanjian antara PAM Jaya dan PJT2 selaku pemasok air baku dari Jatiluhur, seharusnya Palyja mendapat pasokan air sebanyak 6,2 meter kubik per detik. Namun, faktanya pada tahun 2003/2004 Palyja hanya mendapat kiriman rata-rata 5,1-5,2 meter kubik per detik. ''Padahal, kemampuan instalasi kami bisa mengolah hingga 5,4 meter kubik per detik,'' ujarnya. Itu terjadi akibat banyak hal. Selain debit air di waduk Jatiluhur yang kadang-kadang menurun, jelas Kumala, adanya gangguan di pompa air Cawang juga menjadi masalah. Selain itu, banyak terjadi konflik kepentingan pada pengiriman air dari Jatiluhur ke Jakarta. Selain digunakan di industri, air ini juga digunakan sebagai sumber air di pengairan sawah. Karena itu, kata Kumala, pemerintah juga harus menginventarisasi kebutuhan air baku di daerah. Daerah di sini adalah daerah yang dilintasi air sungai yang menyuplai air ke pompa Palyja di Cawang. Menurutnya, hal ini penting dilakukan untuk mendata suplai air terdata, sekaligus melakukan optimalisasi. Menurut Kumala, tindakan itu bukan hanya menguntungkan Jakarta, tetapi juga wilayah yang dilalui aliran air ke Palyja. Jaringan Pipa Air Pun Buruk Direktur Hubungan Institusi PT Palyja, Kumala Siregar, mengatakan bahwa selama ini Palyja tidak memenuhi semua kebutuhan airnya dari suplai PJT2. Palyja juga membeli suplai air dari Tangerang dan 70 persen suplai air didapat dari Jatiluhur, sedangkan sisanya dari Tangerang. Menurut Kumala, untuk menghindari defisit air pada tahun 2007 banyak hal yang harus dilakukan. Palyja saat ini tengah berupaya melakukan perbaikan jaringan pipa yang sudah tua. Kehilangan air akibat jaringan pipa yang buruk mengakibatkan kebocoran hingga 45 persen. Angka tahun 2004 ini berkurang dibandingkan dengan tahun 1998. Saat itu kebocoran mencapai 60 persen. Padahal, Palyja membeli dengan harga Rp 80 untuk air baku per meter kubik dari PJT2. Khusus air dari Tangerang, Palyja membayar Rp 1.100 per meter kubik karena air yang didapat sudah berupa air baku yang tidak perlu pengolahan lagi. Kerugian akibat kebocoran ini sangatlah besar. Selain pengamanan dan inventarisasi, Kumala meminta Pemprov DKI mencari sumber air baku baru untuk menghindari defisit. ''Bisa saja kita membangun instalasi pengolahan air baku di Jatiluhur,'' ujarnya. Namun, semua ini bisa terwujud jika ada pihak yang mau berinvestasi. Kumala mengharapkan semua pihak, dalam hal ini para stakeholder, duduk bersama dan mencari penyelesaian untuk mencegah terjadinya defisit air baku. Stakeholder yang dimaksud, bukan hanya Palyja, DKI, dan pemerintah pusat, melainkan juga melibatkan daerah yang dilalui jalur air baku. Selain suplai kebutuhan yang semakin menurun, ungkap Kumala, kualitas air baku pun juga semakin menurun. Hal ini terjadi akibat sistem pengiriman air terbuka mulai dari Jatiluhur hingga Cawang. Saluran air terbuka itu membuat masyarakat maupun industri membuang limbah ke sungai. Karena itu, untuk mencapai kualitas air baku pihaknya menggunakan bahan kimia untuk membersihkan air. Meskipun sampai saat ini penggunaan tawas masih dalam batas normal, tetapi sebaiknya dicari upaya untuk mengurangi penggunaan bahan kimia. Penggunaan bahan kimia, menurut Kumala, secara otomatis meningkatkan biaya produksi. Implikasinya juga pada harga air cenderung tinggi. Laporan : c02 Post Date : 22 November 2004 |