Nama Rini Sampah tak asing terdengar di telinga warga Krobokan, Semarang. Bahkan nama ini mengalahkan nama aslinya: Emiliana Suci Suborini. Maklum saja, perempuan berumur 47 tahun itu sudah puluhan tahun bergaul dengan sampah.
Rumahnya yang sederhana, berdinding kayu beralas plesteran, penuh dengan ratusan kerajinan berbahan sampah. Ada boneka yang dibuat dari botol bekas parfum dengan hiasan bungkus kopi dan daun kering. Ada juga hiasan dinding dari biji salak, tempat tisu dari kardus bekas, sandal, dan tas belanja dari bungkus mi instan.
Keahlian Rini mendaur ulang sampah dipupuk sejak duduk di bangku sekolah menengah. Sejak saat itu, ia membuat ratusan karya yang sering dipajang di berbagai pameran di Semarang. Rini juga membagi pengetahuannya kepada tetangga sekitar, dengan memberikan pelatihan gratis pembuatan kerajinan dari sampah.
Untuk mendapatkan suplai sampah, Rini bersama Ning Ahmad, istri Lurah Krobokan, Ahmad Suparno, menggagas program sedekah sampah. Dalam pertemuan rutin setiap pekan, semua warga wajib menyedekahkan sampah yang telah dipilah. Sampah-sampah inilah yang kemudian diolah ibu-ibu PKK yang dipandu Rini dan Ning. "Kalau dulu saya susah cari sampah, sekarang tetangga banyak yang ngasih," kata Rini.
Sampah plastik diolah menjadi kerajinan, sedangkan sampah dapur, kecuali kulit telur dan daun bawang, diolah menjadi kompos. Metode yang dipakai adalah komposter alias toples. Cara pembuatannya cukup sederhana. Hanya memerlukan toples yang diisi pasir setebal 1 cm, sisa sayuran, dan kapur tohor. Setelah ditutup selama tiga bulan, kompos itu bisa dipakai untuk pupuk alam.
Kreativitas para ibu mendaur ulang sampah itu ternyata tak luput dari pantauan produsen barang konsumer yang menjadi salah satu sumber utama penghasil sampah plastik. Sejak sembilan tahun silam, ibu-ibu rumah tangga di Surabaya mendapat penyuluhan tentang pemilahan sampah organik dan anorganik dari sebuah perusahaan barang konsumer terbesar di Indonesia. Mereka juga mendapat pelatihan membuat kompos dan kerajinan dari limbah plastik.
Awalnya, program Surabaya Green & Clean itu hanya punya dua kader. Setelah lima tahun, kader lingkungannya menjadi 5.000 orang. Keberhasilan Surabaya Green & Clean ini akhirnya menginspirasi masyarakat di kota lainnya untuk menciptakan lingkungan yang bersih, hijau, dan nyaman.
Pada saat ini, kadernya mencapai 100.000 orang, tersebar di berbagai kota, seperti Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Medan, Bandung, dan Banjarmasin. Produk daur ulang dari para ibu-ibu binaan program ini diberi merek Trashion. Distribusi barangnya telah meluas ke berbagai kota dan menjangkau beragam lapisan masyarakat. Berkat karya-karya ini, para ibu rumah tangga itu berhasil membuat asap dapurnya tetap mengebul. Astari Yanuarti, dan Syamsul Hidayat (Semarang)
Post Date : 10 Maret 2010
|