Di tangan orang-orang kreatif, kertas bisa diolah menjadi benda yang fungsional sekaligus indah. Hal yang sama juga berlaku untuk limbahnya.
Berawal dari hobi membuat scrapbook atau buku yang biasanya dipakai untuk menulis jurnal dengan menempel foto dan hiasan lain, Selvia (28) kini berbisnis membuat buku buatan tangan yang tampilannya menarik. Selain berbagai jenis kertas baru yang dibelinya di toko, Selvia juga memanfaatkan majalah dan koran bekas untuk membuat buku yang unik.
”Saat kuliah, buku yang saya buat untuk dipakai sendiri ternyata diminati teman. Saya sempat bikin untuk dijual, tetapi tidak lama. Bahannya, saya manfaatkan saja barang-barang yang ada di kamar kos,” kata Selvia, yang kemudian mulai serius menjalani bisnis pada awal tahun 2008, dua tahun setelah dia lulus kuliah bidang pariwisata di Universitas Trisakti.
Kalau Anda membuka situs www.bukuunik.com, Anda bisa melihat keunikan buku yang juga diberi merek dagang Buku Unik ini. Yang pertama terlihat adalah desain sampul buku yang berbeda dengan buku tulis biasa. Sampul berjenis sampul tebal ini didesain dan dibuat sendiri oleh Selvia dan timnya.
Dibantu dua rekannya, Selvia mendesain gambar sampul. Setelah itu, dibantu dua orang lainnya, buku-buku ini diproduksi di tempat tinggalnya di kawasan Gading Serpong, Tangerang, Banten. Semuanya dibuat dengan tangan. Selain kertas, bahan lain seperti kancing, pita, dan renda juga dipakai untuk mempercantik sampul buku, terutama untuk jenis Buku Kreatif.
Buku yang diberi nama Buku Daur Ulang punya keunikan lain. Sampulnya terbuat dari potongan majalah bekas yang ditata sedemikian rupa sehingga tercipta tampilan yang menarik, misalnya buku yang bersampul karakter kartun, alat-alat kosmetik, atau yang bertema alam. Keterbatasan bahan membuat buku berjenis ini bisa dimiliki secara eksklusif karena satu desain hanya dibuat satu buku.
Selain desain sampul, keunikan lain dari buku ini adalah bagian dalamnya yang bisa diisi ulang. Pinggiran buku dibuat dari ring yang bisa dibuka hingga memungkinkan lembaran-lembaran bagian dalam buku diganti.
”Konsep dari awal ketika saya membuat buku adalah daur ulang. Jadi, buku tidak sekali dipakai, lalu dibuang. Saya senang ketika mempromosikan pada orang lain, kalau buku ini bisa diisi ulang asal sampulnya dijaga jangan sampai rusak,” tutur Selvia.
Selain melalui internet, Selvia mengandalkan bisnis melalui reseller, yaitu orang-orang yang membeli dalam jumlah banyak untuk dijual kembali, serta melalui pameran. Setelah mengikuti berbagai pameran kecil di mal, mulai tahun lalu dia berkesempatan mengikuti pameran dalam skala lebih besar. Tahun ini, Buku Unik untuk pertama kalinya menjadi peserta pameran kerajinan tangan terbesar di Indonesia, Inacraft, dengan stan yang selalu dipenuhi pembeli.
Tak cukup melalui dunia maya dan pameran, Selvia menargetkan perluasan bisnis dengan membuka kios di mal untuk lebih mendekatkan diri dengan publik yang belum mengetahui produknya. Selvia akan mewujudkan targetnya tersebut pada pertengahan Mei ini dengan membuka kios di kompleks Alam Sutera.
Ramah sosial
Peluang bisnis melalui daur ulang kertas juga dimanfaatkan Dindin Komarudin bersama anak-anak jalanan yang diasuhnya di Yayasan Kumala, Jakarta.
Sewindu lalu, Dindin mungkin tak mengira, tekadnya untuk mengikuti pelatihan bersama anak-anak jalanan berbuah hasil yang membanggakan. Tahun 2003, salah seorang anak jalanan yang diasuhnya berkomentar tentang harga kertas daur ulang di toko buku yang mahal. Lewat petunjuk dari buku, mereka mencoba membuat kertas daur ulang, namun selalu gagal.
”Awalnya kami membuat kertas daur ulang sebagai kegiatan bagi anak-anak jalanan, karena berkegiatan membuat anak-anak betah di rumah singgah,” cerita Dindin.
Akhirnya Dindin menghubungi sang penulis buku yang berasal dari Suhuf Art Paper, sebuah perusahaan produsen kertas daur ulang di Bandung. Bersama 10 anak jalanan, Dindin kemudian mengikuti pelatihan singkat membuat kertas daur ulang yang diselenggarakan Suhuf.
Dari pelatihan itu, mereka mendapatkan ide untuk membuat kertas dari eceng gondok dan pelepah pisang. Kebetulan, di sekitar kawasan rumah singgah, yaitu di sungai di Rawa Badak, Jakarta Utara, banyak eceng gondok.
Setelah kursus selama tiga hari, mereka membuat sendiri kertas daur ulang berbahan kertas bekas, eceng gondok, dan pelepah pisang untuk kemudian ditawarkan ke Suhuf. Namun, terus-menerus ditolak karena belum memenuhi standar.
Setelah setahun, barulah produk mereka dengan kualitas yang kian membaik diterima. Dalam perkembangannya, Yayasan Kumala bahkan pernah menjadi pemasok terbesar Suhuf.
Sejak itu, berbagai pesanan datang termasuk dari luar negeri, seperti Jepang, Kanada, Singapura, dan Australia. Sejak 2008, Japan International Corporation Agency (JICA) juga ikut membantu usaha kertas daur ulang Yayasan Kumala.
Produk mereka juga kini mudah ditemui di sejumlah toko buku besar. Tak hanya kertas daur ulang, tetapi juga berbagai kerajinan tangan berbasis kertas daur ulang atau eceng gondok, seperti tempat tisu dan kartu-kartu ucapan.
Untuk pengembangan produk, Dindin dan anak-anak asuhnya rajin berkunjung ke berbagai pameran dan berselancar di internet untuk mempelajari desain dan variasi produk berbasis kertas daur ulang. Meski begitu, hingga kini Dindin tidak menggunakan merek tertentu.
”Kami ini, kan, yayasan yang tidak berorientasi bisnis semata. Sebanyak 20 persen hasil laba bersih untuk kas yayasan, untuk kepentingan anak-anak jalanan. Kalau pakai merek, khawatir nanti jadi lupa pada tujuan utama yang berupaya menjadikan anak-anak jalanan lebih baik hidupnya. Jadi biar orang lain saja yang pasang merek ke produk kami,” kata Dindin, yang mengasuh 340 anak jalanan berusia 6-20 tahun di yayasan.
Kertas daur ulang ternyata tak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga ”ramah sosial” karena bisa menjadi ladang penghidupan bagi anak-anak jalanan. Yulia Sapthiani dan Sarie Febriane
Post Date : 08 Mei 2011
|