Mahalnya air di DKI Jakarta sangat mungkin “menular” ke kota lain di Indonesia. Pemerintah dinilai perlu mengambil langkah-langkah penyelamatan.
Dari tahun ke tahun, kebutuhan masyarakat akan air bersih selalu meningkat. Bahkan pada 2010, DKI Jakarta dan sekitarnya diprediksi akan mengalami defisit air sebanyak 6.857 liter per detik. Apa artinya? Dan apa dampaknya?
Dampaknya tentu harga air bersih semakin mahal. Padahal harga air bersih di Indonesia dinyatakan sebagai yang termahal, paling tidak di kawasan Asia Tenggara.
Besaran tarif air minum di Jakarta saat ini sebesar 7.020 rupiah per meter kubik. Dan lagi-lagi, yang paling merasakan dampak ini adalah masyarakat yang berdaya beli rendah.
Tarif rata-rata air di Jakarta yang mencapai 0,7 dollar AS per meter kubik (m3) lebih tinggi dibandingkan dengan tarif air di Singapura yang rata-rata 0,55 dollar AS per m3, Filipina 0,35 dollar AS per m3, Malaysia 0,22 dollar AS per m3, dan Thailand yang 0,29 dollar AS per m3.
DKI Jakarta sendiri sebenarnya dilewati 14 sungai besar. Namun, tidak satu pun sungai yang bisa dijadikan bahan baku air bersih karena dalam kondisi sangat tercemar.
“Hal ini menyebabkan Jakarta tergantung oleh sumber air dari Jatiluhur, Tangerang, dan Cisadane sebagai bahan baku PAM,” ujar Firdaus Ali dari Badan Regulator (BR) PAM DKI Jakarta.
Jauhnya lokasi pengambilan air tersebut sangat berdampak pada volume air yang diterima Jakarta. Bila dihitung-hitung, sekitar 50,6 persen air hilang dalam perjalanan, entah akibat bocornya pipa maupun pencurian.
Menurut Firdaus, untuk menghilangkan inefisiensi seperti itu, perlu dilakukan perbaikan pipa dan tindakan tegas terhadap para pencuri air.
Setelah itu, bisa meningkatkan suplai air dari luar Jakarta seperti yang direncanakan, yaitu 4 ribu liter air per detik pada 2015, kemudian menjadi 8 ribu liter per detik pada 2020.
Jika semua itu sudah tercapai, tambah Firdaus, air yang dibawa ke Jakarta sebaiknya dalam bentuk air siap minum, tidak lagi melalui pipa terbuka seperti sekarang ini.
Solusi ketiga adalah mengumpulkan dan mengategorisasi limbah seperti yang dilakukan Singapura saat ini. Pengumpulan limbah dilakukan di beberapa zona untuk mendapat air siap minum yang sehat.
Apabila tidak ada lagi cara yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta terhadap air bersih, pengelolaan air laut menjadi pilihan terakhir.
”Tapi pilihan ini sebisa mungkin harus dihindari karena mengelola air laut menjadi air layak konsumsi memerlukan suplai energi yang sangat besar,” kata Firdaus.
Kendala yang dihadapi dalam realisasi solusi-solusi tersebut, lanjut Firdaus, adalah sulit memantau secara pasti lokasi kebocoran pipa. Mengganti pipa bocor juga tidak mudah karena sebagian besar jalan di Jakarta sudah dibeton.
Akan sangat sulit untuk menjangkau pipa yang berada di dalam tanah. Apalagi pipa air tertua di Jakarta usianya sudah 60 tahun dan hanya beberapa lokasi yang sudah diremajakan.
Berbeda jika kebocoran terlihat dari atas permukaan tanah. Pihak berwenang bisa langsung mengggantinya.
Kebocoran yang terjadi di dalam tanah memerlukan teknologi khusus yang bisa mendeteksi kebocoran. ”Hal tersebut adalah tanggung jawab dari pengelola swasta yang dipercayakan oleh pemerintah.”
Jika pemerintah tidak segera mengambil upaya penyelamatan, masyarakat ekonomi menengah ke bawah akan semakin berat menanggung beban untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya.
”Selama ini pemerintah kurang memunyai keberanian sehingga tidak adanya jaminan untuk masalah air tersebut,” kata Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Ubaydillah.
Menurutnya, pemerintah perlu tegas terhadap para pengguna air tanah dalam skala besar. Jika mereka melampaui batas-batas tertentu, perlu ditindak tegas sesuai dengan payung hukum yang berlaku.
Sambil menunggu solusi-solusi yang tadi telah diusulkan, Guru Besar Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia Umar Fahmi Ahmadi menyarankan masyarakat untuk seserius mungkin memperhatikan kesehatannya sehubungan dengan kondisi air bersih yang belum sesuai standar.
Bakal Menyusul
Selain Jakarta, kota yang kemungkinan besar akan mengalami krisis air bersih hebat adalah Bandung, Jawa Barat.
Kondisi air bersih di kota ini makin mengkhawatirkan seiring dengan terus berlangsungnya kerusakan lingkungan di wilayah-wilayah tangkapan air.
Sebenarnya Kota Bandung mampu menyediakan pasokan air sepanjang tahun. Namun, akibat kerusakan lingkungan yang parah, saat ini air bersih sangat sulit didapatkan.
Daerah tangkapan air, seperti kawasan Bandung Utara, telah banyak yang beralih fungsi menjadi hunian.
Di sana berdiri beragam bangunan permanen, seperti hotel, cottage, vila, restoran, dan kafe. Berdirinya bangunan-bangunan ini menyebabkan semakin berkurangnya kawasan hutan sehingga kondisi alam tidak seimbang.
Sejauh ini, PDAM Kota Bandung memiliki tiga sumber air. Pertama berasal dari air permukaan di beberapa sungai seperti Sungai Cisangkuy dengan persediaan 1.400 liter per detik, Sungai Cikapundung dengan persediaan air 840 liter per detik, serta dari Sungai Cibeureum dengan persediaan air 40 liter per detik.
Satu lagi kota yang diprediksi bakal mengalami kesulitan air bersih di masa-masa mendatang adalah Makassar.
“Sedikitnya delapan dari 14 kecamatan di Makassar sulit mendapatkan layanan air bersih dari PDAM setempat. Dan kondisi mata air di Makassar sangat kritis,” ujar Firdaus.
Adapun wilayah-wilayah yang mengalami krisis air bersih tersebut adalah sebagian Kecamatan Wajo, Tallo, Bontoala, Ujungtanah, sebagian Manggala, Panakkukang, Tamalanrea, dan Biringkanaya.
Meskipun Indonesia termasuk 10 negara di dunia yang kaya akan air, itu tidak menjamin akses air bersih yang mudah bagi warganya.
Cadangan air kita mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, jauh di atas ketersediaan air rata-rata dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Masalahnya, krisis air terjadi setiap tahun. (not/L-4)
Post Date : 29 September 2009
|