|
BANDUNG -- Selama tiga bulan TPA Leuwigajah tak bisa digunakan. Sampai saat ini, Kota Cimahi belum memiliki tempat penampungan akhir (TPA) sementara. Pasalnya, Kota Cimahi masih melakukan kajian untuk menentukan tempat yang paling layak dijadikan TPA sementara sampai ada TPA tetap. Padahal setiap harinya, Kota Cimahi menghasilkan sampah sebanyak 1.150 meter kubik. Untuk meringankan pekerjaan Kota Cimahi, maka Kota Bandung memberi izin bagi 10 truk sampah dari Kota Cimahi untuk membuang sampah ke TPA sementara Jelekong. TPA ini secara resmi dikelola oleh PD Kebersihan Kota Bandung. Sedangkan, sisa sampah yang lainnya, ditampung di 53 tempat penampungan sementara (TPA) yang ada di Kota Cimahi. ''Sampai saat ini kami belum menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan TPA sementara. Kami hanya memiliki TPA sementara Jelekong karena Kota Bandung mau mengalah dengan mempersilakan kami membuang sampah di tempat itu,'' kata Asisten Pemerintahan Bidang Kesra Pemkot Cimahi, Encep Syaefullah, Ahad (6/3). Biasanya, lanjut Encep, Kota Bandung membuang sampah sebanyak 150 truk sampah setiap hari. Karena dikurangi, maka setiap hari Kota Bandung hanya membuang sebanyak 140 truk sampah. Pihaknya, kata dia, sudah berupaya untuk mencari TPA sementara sampai ada TPA tetap. Namun, kata dia, dalam mencari lokasi, pihaknya akan berhati-hati karena masyarakat minta TPA tersebut jauh dari perumahan. Karena itu, sambung Encep, meski sudah menentukan lokasi, pihaknya masih melakukan kajian-kajian. ''Kami tidak bisa asal menentukan lokasi TPA sementara. Kami saat ini masih menunggu kajian. Untuk mengkaji lahan tersebut, kami bekerja sama dengan ITB,'' tuturnya. Menurut Encep, pihaknya belajar dari pengalaman kejadian di TPA Leuwigajah. Pada 1987, kata dia, berdasarkan kajian, TPA tersebut layak karena cukup jauh dari pemukiman. Namun, cetus dia, masyarakat ternyata mendekati sendiri lokasi tersebut. ''Meskipun sifatnya sementara, tapi kami menentukan letaknya jauh dari masyarakat karena kami khawatir masyarakat akan mendekati lokasi,'' papar Encep. Minimal, lanjut dia, letaknya harus berjarak beberapa ratus meter dari perumahan penduduk. Kalau ada perumahan penduduk di lokasi yang akan dijadikan TPA sementara, sambungnya, maka akan direlokasi atau dibebaskan. Karena lokasi TPA sementara tersebut belum ada, imbuh Encep, maka sampah tersebut dikumpulkan di 53 TPS yang tersebar di seluruh Kota Cimahi. Pihaknya, kata dia, bekerja sama dengan kader PKK dan karang taruna untuk memberikan pengertian pada masyarakat agar memisahkan sampah. Di TPS itu, cetus dia, sampah dikelola secara manual. Pihaknya, papar Encep, bisa melakukan pengolahan terhadap sampah. Dengan cara manual, kata dia, pihaknya berhasil memadatkan sampah antara satu hingga 1,5 meter. Misalnya, kalau tinggi sampah dua meter, maka setelah dipadatkan menjadi satu meter. Sampah organik, kata dia, berhasil diolah menjadi kompos dalam waktu 48 hari. Namun, kata dia, tidak semua TPS mengolah sampah menjadi kompos, ada beberapa TPS yang hanya memadatkan sampah saja. Sementara itu, menurut Kepala Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Sumardjito, lokasi yang sedang dikajinya terletak di Gunung Masigit, Kabupaten Bandung. Areal tersebut, kata dia, seluas lima hingga 20 hektare. Pihaknya mengaku harus melakukan kajian karena bisa saja areal itu bukan hanya layak untuk TPA sementara, tapi menjadi TPA tetap. Sedangkan menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi, Arlina Gumilar, dengan kejadian longsor di Leuwigajah, maka dalam waktu satu hingga tiga bulan TPA tersebut tidak mungkin bisa digunakan. Akibatnya, cetus dia, Kota Cimahi harus mengelola sampah sendiri sebelum ada TPA tetap. Namun, sambung Arlina, dalam mengelola sampah, yang terpenting adalah kesadaran masyarakat. Pasalnya, kata dia, tanpa ada peran serta dari masyarakat, sampah akan kembali menumpuk seperti di Leuwigajah. Dalam menggunakan TPS Jelekong pun, kata dia, seharusnya masyarakat ikut memperhatikan dengan memisahkan sampah organik dan anorganik agar bisa diolah. (kie ) Post Date : 07 Maret 2005 |