|
SEPERTI ingin mengulang kisah kesuksesan di tahun 1995-1997, Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan atau Proper diberlakukan lagi tahun 2002 (Kompas, 29 April 2004). Hasil Proper 2002-2004 itu menunjukkan 22 dari 85 perusahaan yang dinilai ternyata berperingkat merah karena tidak memenuhi ketentuan pengendalian pencemaran. Bahkan, empat perusahaan berperingkat hitam karena nyaris sama sekali belum melaksanakan upaya pengendalian pencemaran. PENULIS menemukan kondisi yang sama saat menganalisis data pemantauan "kualitas" limbah cair yang dilaksanakan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Semarang, Jawa Tengah, terhadap sejumlah perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Tapak. Data pemantauan rutin bulanan sejak Januari 2001 hingga April 2003 menunjukkan tingginya variasi ketaatan (compliance) terhadap ketentuan lingkungan. Berbagai varian dapat ditemukan, mulai dari yang resisten (resistant) sampai yang patuh (comply). Perusahaan yang paling resisten adalah sebuah pabrik sabun. Sepanjang periode pemantauan yang lebih dari dua tahun itu, nilai tiga parameter kunci-Chemical Oxygen Demand (COD), Biochemical Oxygen Demand (BOD), dan Total Suspended Solid (TSS)-dalam limbah pabrik tersebut senantiasa melampaui baku mutu yang dipersyaratkan. Yang ironis dan sekaligus menggelikan, pernah pada satu kesempatan, ketika saluran air di muka pabrik sabun itu dipenuhi busa kecoklatan, sebuah spanduk bertuliskan "Air untuk Kehidupan" terpasang rapi di pagar pabrik. Kasus pencemaran Kali Tapak ini sebenarnya adalah kasus tinggalan sejak sekitar tiga puluh tahun yang lalu! Pencemaran kali kecil yang terletak di Kecamatan Tugu, Kota Semarang, itu sering disebut-sebut sebagai salah satu pemicu lahirnya gerakan lingkungan di Indonesia. Meskipun pada tahun 1990-an kasus "Kali Tapak" ini sempat diselesaikan dengan mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) (lihat Santosa, 1992), hingga kini pencemaran Kali Tapak masih berlanjut. Ganti rugi dan kompensasi memang telah dibayarkan kepada masyarakat, terutama mereka yang sawah dan tambaknya menjadi korban pencemaran, tetapi protes warga terus berlanjut karena pencemaran masih berlangsung. Pemantauan limbah rutin yang diungkapkan di awal tulisan ini adalah hasil kesepakatan Forum Pertemuan Koordinasi, yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan perusahaan, komunitas lokal, dinas terkait, dan media (Bapedalda Kota Semarang, Laporan Kegiatan Penanganan Kasus Pencemaran Lingkungan Tahun 2001 dan 2002). Setelah sempat "tidur" beberapa lama, pada tahun 2001 dan 2002 atas peran media (Harian Sore Wawasan)-kasus pencemaran "Kali Tapak"-terangkat kembali. Rentang kepatuhan lingkungan yang begitu lebar antarperusahaan di kawasan Tapak tersebut memang masih bisa terjadi. Pemahaman manusia terhadap lingkungan selalu berubah, berevolusi (McDonald, 2003). Begitu pula kesadaran korporasi terhadap lingkungan juga berevolusi dan termanifestasikan dalam berbagai jenjang. Tekanan lingkungan Terbitnya buku The Silent Spring tulisan Rachel Carson pada tahun 1962 oleh banyak pihak (khususnya dunia Barat) diklaim sebagai awal kebangkitan gerakan lingkungan modern. Keunggulan Carson dibandingkan dengan para pendahulunya terletak pada kemampuannya menunjukkan saling keterkaitan antara manusia dan lingkungan telah mencuri perhatian bukan saja kalangan industri dan pemerintah, tetapi juga masyarakat luas. Kebangkitan kesadaran lingkungan di tahun 1960-an itu sempat menggoyahkan kepercayaan banyak pihak terhadap pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, teori-teori yang dikembangkan saat itu cenderung antipertumbuhan (Pearce & Turner, 1990). Namun, sejak tahun 1980-an konsep pertumbuhan nihil (zero growth) mulai digantikan oleh konsep sustainable development (CD)-yang bertumpu pada prinsip pemenuhan kebutuhan saat ini dengan tanpa mengorbankan hak generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Brundlandt, 1991). Sebagai konsekuensinya, korporasi harus beradaptasi dengan pola interaksi ekonomi-lingkungan yang diidealkan dalam konsep CD. Aspek lingkungan, secara bertahap, semakin mewarnai strategi korporasi dan bahkan beberapa korporasi secara sengaja menempatkan aspek lingkungan sebagai komponen utama keunggulannya. Meski demikian, tidak serta-merta semua korporasi akan memiliki sikap dan kinerja lingkungan yang sesuai dengan konsep CD. Bukan hanya di Indonesia, secara global pun korporasi-korporasi masih berada dalam fase "metamorfosis" yang berbeda-beda. Konsep strategi Salah satu konsep strategi lingkungan korporasi (corporate environmental strategy) yang menarik adalah gagasan John Elkington, pakar CD dan pendiri lembaga Sustain Ability yang bermarkas di London dan New York. Elkington (2001, 2002) mengelompokkan korporasi berdasarkan kesamaan sifatnya dengan empat jenis serangga yang memiliki karakter berbeda-beda, yaitu ulat (caterpillar), belalang (locust), kupu-kupu (butterfly), dan lebah madu (honeybee). Elkington mengajak para pelaku dunia usaha untuk belajar dari kehidupan alam yang telah membuktikan keberlanjutannya (sustainability). Serangga secara khusus dipilih sebagai "role model" setidaknya karena jenis makhluk hidup ini telah menunjukkan keberlanjutannya di Bumi, karena sudah eksis di Bumi sejak 400 juta tahun yang lalu (bandingkan dengan manusia yang "baru" sejuta tahun). Dalam metafora "serangga"- nya, Elkington (2001, 2002) menyatakan bahwa ekonomi dunia adalah "ekonomi ulat" (caterpillar economy). Seperti ulat, sistem ekonomi-yang didominasi korporasi "ulat"-melahap kapital alam dan sosial. Claude Nuridsany dan Marie Perennou, sutradara film Microcosmos, menyebut ulat sebagai "it is basically an intestine disguised as an animal, with a few extra appendages-three sets of claw-like legs and five sets of abdominal suckerlike pads that propel it toward an increasingly supply of food". Ulat adalah usus yang menyamar sebagai hewan, dalam hitungan jam saja daun sebesar apa pun akan dilahap dan hanya menyisakan rangka dan sirip yang mirip hasil "bordiran" yang terkoyak (ragged lacework). Korporasi "belalang" (corporate locusts) dan korporasi "ulat" (corporate caterpillar) merupakan korporasi yang bersifat merusak (degeneratif). Korporasi "belalang" umumnya memiliki model bisnis yang tidak sustainable, berkecenderungan untuk meruyak (to swarm) melampaui daya dukung sistem ekologi, sosial, dan ekonomi, serta secara kolektif menghasilkan dampak regional dan bahkan global. Korporasi jenis ini juga cenderung "buta" terhadap peringatan dini kerusakan lingkungan. Beberapa korporasi yang termasuk jenis ini antara lain Russian Aluminium, British Nuclear Fuels, Freeport-McMoran Copper & Gold, dan Prosper de Mulder (Elkington, 2001). Korporasi "ulat" umumnya juga memiliki model bisnis tidak sustainable dan menghasilkan dampak skala lokal. Korporasi "ulat" beroperasi di sektor-sektor yang pendahulunya telah bermetamorfosis menjadi korporasi yang sustainable sehingga memiliki potensi untuk mengalami transformasi ke arah yang baik. Elkington (2001) menempatkan 3M dan Johnson Matthey sebagai contoh korporasi jenis ini. Korporasi "kupu-kupu" (corporate butterflies) dan korporasi "lebah madu" merupakan korporasi yang bersifat menumbuhkan (regeneratif). Korporasi "kupu-kupu" memiliki model bisnis sustainable tetapi berisiko menyimpang seiring pertumbuhan dan ekspansi. Korporasi jenis ini memiliki: kemampuan mengarahkan "selera" konsumen; komitmen kuat terhadap agenda-agenda corporate social responsibility (CSR) dan CD; serta jaringan kerja sama (simbiosis) dengan sesama korporasi yang sustainable. Menonjolkan diri dengan menyuarakan visi lingkungan merupakan ciri khasnya. The Body Shop, Novo Nordisk, dan Patagonia adalah tiga contoh korporasi "kupu-kupu" menurut Elkington (2001). Korporasi "lebah madu" memiliki model bisnis sustainable berdasarkan inovasi terus-menerus, menerapkan prinsip- prinsip etika bisnis, manajemen pengelolaan sumber daya alam yang strategik dan sustainable, serta kapasitas untuk meneruskan keberlanjutan usaha. Selain itu, korporasi jenis ini memiliki jaringan kerja sama (symbiotic) dan ramah secara sosial; mampu menetralisasi dampak yang ditimbulkan oleh korporasi-korporasi "ulat" dan "belalang"; serta mendorong korporasi "kupu-kupu" untuk bertransformasi menjadi korporasi "lebah madu". Saat ini korporasi "lebah madu" masih amat langka. Menurut Elkington (2001), Johnson & Johnson mungkin salah satu kandidatnya. Metafora serangga ini merupakan panduan etis bagi para pelaku usaha dalam membangun dan mengarahkan pengembangan korporasi mereka. Keberlanjutan ekosistem dunia hanya dapat terwujud jika semua aktivitas ekonomi secara sadar diarahkan menuju sebuah "konser" ramah lingkungan. Korporasi yang tidak segera berevolusi ke arah korporasi "lebah madu", atau setidaknya korporasi "kupu-kupu", hanya akan menjadi beban bagi ekosistem dan masyarakat. Destruksi kapital alam dan sosial (natural and social capital) oleh operasi korporasi "belalang" dan korporasi "ulat" akan menimbulkan gangguan terhadap keberlanjutan ekosistem dan sekaligus disharmoni sosial. Budi Widianarko Guru Besar Toksikologi Lingkungan, Unika Soegijapranata, Semarang Post Date : 22 Juli 2004 |