Sepanjang 7-18 Desember, Kopenhagen menjadi tempat perundingan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Sedianya, perundingan dihadiri oleh 85 kepala negara dan 1.500 delegasi, dan diharapkan menghasilkan kesepakatan global bagi upaya menahan laju pemanasan bumi, penyebab perubahan iklim. Kesepakatan Kopenhagen diharapkan menjadi pengganti Protokol Kyoto yang masa berlakunya berakhir pada 2012.
Bagi yang optimistis, Kopenhagen diyakini bakal melahirkan kesepakatan kuat. Hal ini didasari atas sikap AS dan China yang mulai kondusif. Akhir November, Pemerintah AS berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 17 persen dari level 2005 pada 2020. Seolah tak mau kalah, sehari kemudian, Pemerintah China mengumumkan target penurunan emisi sebesar 40-45 persen dengan level dan kurun waktu yang sama dengan AS. Bedanya, target penurunan ”intensitas karbon” China didasarkan produk domestik bruto (GDP) (Kompas, 28/11/2009).
Mereka yang pesimistis merujuk pengalaman beberapa pertemuan dan kesepakatan yang selama ini bersifat ”minimalis” dan sering dilanggar. Padahal, pemanasan iklim harus menjadi sesuatu yang urgen.
Dalam Living Planet Report 2006, World Wild Fund for Nature (WWF) menyebutkan, kini ekosistem alam planet Bumi mengalami degradasi, mencapai kondisi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Degradasi hutan hujan tropis, termasuk di Indonesia, melaju cepat menuju kondisi kolaps.
Sementara itu, target menurunkan emisi karbon dioksida hingga 40 persen bagi negara-negara kaya (Annex 1) tahun 2020 dari emisi tahun 1990, masih jauh dari sasaran. Padahal, fenomena mencairnya es di kutub seharusnya menjadi peringatan (bakal) datangnya musibah dahsyat.
Penelitian International Institute for Environment and Development (IIED), misalnya, menghitung akibat percepatan pencairan es, kenaikan permukaan air laut mencapai 10 meter. Dampaknya, sekitar 634 juta penduduk dunia harus diungsikan. Negara yang paling menderita adalah China dengan potensi pengungsi 114 juta, India (63 juta), Bangladesh (62 juta), Vietnam (43 juta), dan Indonesia (42 juta) (Kontan, 28/11/2009).
Agenda Indonesia
Di Kopenhagen, delegasi Indonesia membawa empat agenda, yaitu reducing emissions from deforestation and forest deregulation (REDD), masalah kelautan, percepatan transfer teknologi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta peningkatan SDM dan teknologi mengantisipasi perubahan iklim.
Masuknya perkebunan skala besar, seperti sawit, mengubah REDD menjadi REDD+. Implikasinya luar biasa. Sebab, jika hanya tegakan pohon yang dinilai sebagai hutan, bisa memicu alih fungsi hutan alam menjadi kawasan perkebunan skala besar.
Bagi Civil Society Forum for Climate Justice Indonesia (CSF), jika Indonesia bersikukuh mendukung REDD+, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penghentian penebangan hutan alam tersisa, membenahi tata kelola kehutanan, memulai restorasi kawasan ekologis penting rusak, dan menyelesaikan konflik akibat tata kelola hutan yang buruk (CSF, 3/10/2009).
Sebaliknya, negara-negara Annex 1 harus mengubah pola konsumsi dan produksi warganya untuk memenuhi komitmen mengurangi emisi karbon dioksida. Tak kalah penting, alih teknologi ramah lingkungan memanfaatkan energi nonfosil kepada negara berkembang. Sayang, hingga kini, AS dan Jepang belum melakukan. Alasannya, merugikan pihak swasta negaranya sebagai pemegang hak paten.
Indonesia pun sebaiknya jangan gegabah mengajukan laut sebagai salah satu jawaban menghadapi masalah perubahan iklim. Dikhawatirkan, hal itu akan merugikan Indonesia karena sifat lautnya sebagai pelepas karbon dioksida (Kompas, 28/11/2009).
Pengalaman buruk tata kelola hutan dan kawasan konservasi yang terus berlangsung hingga kini, agar tidak diterapkan di laut. Upaya ”mengiklankan” laut Indonesia menjadi ladang keuangan baru lewat Manado Ocean Declaration (MOD) dan Coral Triangle Initiative (CTI), oleh kelompok aktivis lingkungan dianggap mencederai harapan 20 juta nelayan tradisional serta 127 juta lainnya yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka lebih memerlukan dukungan politik, mulai dari keselamatan nelayan pascaperubahan cuaca, jumlah tangkapan berkurang, hingga perusakan laut oleh industri.
Ke Kopenhagen, Indonesia mencetuskan komitmen menurunkan emisi karbon dioksida 26 persen pada 2020. Menurut pemerintah, apa pun hasil kesepakatan di Kopenhagen, Indonesia telah mendapat keuntungan hero image karena komitmen itu. Keuntungannya, Indonesia akan menerima dana perubahan iklim dari kerja sama bilateral dengan negara pendonor.
Namun, harapan kita, pemerintah tidak sekadar berupaya bagaimana mendapatkan bantuan dari negara kaya, khususnya dalam perdagangan karbon, tetapi lebih berupaya menaikkan posisi tawarnya bersama negara berkembang lainnya dalam menekan negara-negara maju untuk mengurangi emisi.
Dana bantuan, khususnya dalam ”mekanisme perdagangan karbon”, tidak boleh menjadi justifikasi negara maju dan kita untuk terus menghasilkan emisi gas rumah kaca yang merusak atmosfer. IVAN A HADARCo-Pemred Jurnal Sosial Demokrasi
Post Date : 07 Desember 2009
|