|
Jakarta, Kompas - Timbulnya genangan air yang membuat macet lalu lintas Jakarta, Rabu (12/4), diduga merupakan dampak dari minimnya pemeriksaan terhadap sistem jaringan drainase di Ibu Kota. Pemerintah juga dianggap lengah karena mengabaikan dampak itu. Demikian dikemukakan secara terpisah oleh pakar hidrologi Universitas Indonesia (UI) Eko Kusratmoko dan pakar perencanaan kota Budhy Cahyati Soegiyoko dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu. "Genangan di jalan-jalan utama Jakarta akibat hujan sekejap ini cukup mengagetkan. Pemerintah Provinsi DKI semestinya mampu mengontrol sistem jaringan drainase yang ada sehingga genangan mudah mengalir ke sungai," kata Eko. Berharap limpasan air hujan meresap ke dalam tanah, lanjut Eko, saat ini sangat tidak mungkin karena permukaan tanah telah tertutup aspal dan beton. Menurut Cahyati, mempertahankan fungsi drainase sebetulnya merupakan tanggung jawab warga dan pemerintah. "Drainase yang ada sekarang banyak tertutup, baik tertutup sampah warga maupun dampak pembangunan," kata Cahyati yang juga Senior Executive Director Urban and Regional Development Institute (URDI). Sementara itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Wishnu Subagio Yusuf mengatakan, curah hujan yang terjadi Selasa siang hingga sore (hanya sekitar dua jam) mencapai 105 milimeter. Padahal, biasanya curah hujan hanya 50 milimeter. Curah hujan sangat tinggi itu, kata Wishnu, mengakibatkan air menggenangi Istana Presiden, Jalan Thamrin (sekitar Sarinah), dan beberapa titik di Kantor Gubernur DKI di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Penyebab utama adalah bermasalahnya sistem tata air di kawasan itu. Wishnu juga mengakui buruknya drainase di ruas Jalan Thamrin. "Penyebab utamanya adalah banyaknya jaringan utilitas bawah tanah yang melintang di sepanjang drainase itu. Akibatnya, drainase di jalan protokol itu tidak mampu menampung curah hujan," ujarnya menambahkan. Selain itu, ada pula saluran drainase yang mengalami penyempitan, seperti di sekitar Jembatan Serong, Tanah Abang, yang juga terhubung dengan saluran di Jalan Thamrin, menjadi berbentuk leher botol. Di titik itu saluran drainase menyempit dari 19 meter menjadi 12 meter. Khusus mengenai genangan di Kantor Kepresidenan, Wishnu menyatakan, akibat sistem interaksi tata air kawasan itu acak- acakan. "Sistem drainase dari timur ke barat tidak terkoordinasi secara baik. Akibatnya, ketika curah hujan sangat tinggi, volume air di darat menjadi besar. Air tidak bisa masuk ke Kali (Ciliwung di) Juanda dan menggenangi halaman Istana," ujar Wishnu menjelaskan. Namun, menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, genangan di Kantor Presiden kemungkinan disebabkan kapasitas pompa untuk mengalirkan genangan ke Ciliwung kurang besar. Untuk itu, kapasitas pompa air di Istana akan diperbesar. "Sistem drainase di Istana sudah baik, hanya mungkin pompa airnya yang kurang besar," ujar Djoko seusai mendampingi Presiden meresmikan pembangunan infrastruktur nasional di alun- alun Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Rabu. Akan diganti Berkait dengan tumbangnya pohon, Gubernur Sutiyoso mengatakan akan memberikan santunan kepada keluarga korban yang meninggal dan mengganti biaya perawatan bagi korban luka-luka. Menurut Kepala Dinas Pertamanan Sarwo Handayani, keluarga korban yang meninggal memperoleh santunan Rp 10 juta. "Mobil ringsek yang tertimpa pohon tumbang juga akan mendapat ganti rugi. Namun, khusus untuk ganti rugi mobil ringsek, sampai saat ini masih dihitung," katanya. Namun, menurut anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun, persoalan tak bisa berhenti hanya pada pemberian ganti rugi atau santunan. "Harus ada tindakan hukum lebih lanjut. Ini masalah pidana," katanya. (PIN/NAW/inu/idr) Post Date : 13 April 2006 |