|
Bandung, Kompas - Keberadaan mata air bagi Kota Bandung, yang sebagian besar terletak di kawasan Bandung utara dan Kabupaten Bandung, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, pencemaran air sudah terjadi setidaknya pada jarak 3 meter dari mata air. Contohnya adalah mata air Cikareo yang terletak di Desa Cibogo, Lembang, Kabupaten Bandung. Mata air itu dimanfaatkan warga sekitar untuk mencuci, mandi, dan keperluan lainnya. Air yang keluar dari mata air ditampung dalam bak sebelum dibuang di kolam yang dasarnya batu-batuan. Di sekeliling kolam tidak terdapat dinding penahan, tetapi hanya tanah. Hal itu menyebabkan air yang dikeluarkan dari mata air Cikareo terbuang sia-sia. Di tempat itu juga banyak ditemukan sampah plastik, terutama dari produk sabun. Sementara pada jarak 5 meter terdapat lahan perkebunan. Warga bebas menggunakan air dari kolam untuk berbagai keperluan. Anak-anak kecil, misalnya, langsung menggunakannya untuk mandi. Adapun sisi kolam yang lain digunakan untuk mencuci pakaian. Menurut Ketua RW 11 Desa Cibogo Rahmat, air langsung dibuang karena debitnya terlalu besar untuk bisa disimpan dalam bak penampungan. "Kondisinya sudah seperti ini sejak lama," tuturnya, Kamis (22/3). Rahmat mengaku tidak ada penanganan dari pihak pemerintah mengenai penataan mata air. Meskipun mata air Cikareo tersebut berada di wilayah Kabupaten Bandung, tanah tersebut milik Kota Bandung. Kurang ditegakkan Menurut Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air Dine Andriani, masalah yang sering terjadi adalah peraturan konservasi lingkungan hidup yang kurang tegas ditegakkan pemerintah. Salah satunya adalah peraturan yang menyatakan bahwa lahan pada radius 100 meter dari tepi mata air harus dijadikan tangkapan air. Namun, seperti yang terjadi di mata air Cikareo, di sekelilingnya terdapat kebun sayur ataupun bangunan rumah penduduk dan vila. Dari data tahun 2001 saja, lanjutnya, setidaknya 74 mata air di Jawa Barat menghilang dan 44 sungai dalam kondisi kritis. Humas PT Perusahaan Listrik Negara Distribusi Jawa Barat-Banten Adang Djarkasih mengungkapkan, pihaknya sangat berkepentingan dengan konservasi air. Sebab, 1.300 megawatt dari kapasitas PLTA Saguling dan Cirata sangat bergantung pada kualitas air Sungai Citarum. (eld) Post Date : 23 Maret 2007 |