|
TEMPO Interaktif, Jakarta : Konflik sampah perkotaan yang berujung pada kerusuhan massa terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong, Klapanunggal, Kabupaten Bogor, pada Senin (22/11). Sekitar 2000 massa dari tujuh desa mengamuk, merusak serta membakar semua bangunan di areal TPST. Aparat kepolisian datang dan menembaki warga, tujuh orang jadi korban timah panas. Sebanyak 19 orang warga dijadikan tersangka yang memprovokasi kerusuhan. Pengelola TPST Bojong, PT. Wira Guna Sejahtera, amat terpukul dan menderita kerugian materi sekitar Rp. 30 miliar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Kapolri Jenderal Da?i Bachtiar menyelidiki kasus ini. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, langsung mendatangi Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan. Dari Bandung, Sutiyoso meminta Pemerintah Kabupaten Bogor memberikan jaminan kepada PT WGS agar bisa mengoperasikan TPST Bojong. Namun, warga Bojong yang sudah kadung kecewa bertekad untuk tetap menolak keberadaan TPST. DPRD Kabupaten Bogor, yang sebelumnya memberi peluang beroperasinya TPST, kini meminta Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mengevaluasi pengoperasian TPST. Bahkan sebagian besar wakil rakyat meminta TPST ditutup. Konflik persampahan di TPST Bojong, merupakan kasus kedua. Kasus pertama terjadi di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang, Kota Bekasi, 10 Desember 2001. Selain rusuh, warga bersama Pemerintah dan DPRD Kota Bekasi melakukan penutupan TPA Bantargebang. Dampaknya, selama sepekan sebelum dan sesudah Idul Fitri 1412 Hijriyah, sampah tak terangkut di ibu kota negara itu. Sampah yang seharinya terhimpun 25.600 meter kubik atau setara dengan 6000 ton, menggunung ratusan ribu meter kubik. Jakarta pun bagai tertimbun sampah dengan aroma tak sedap. Penutupan TPA Bantargebang pun kembali terjadi pada awal Januari 2004. Belajar dari kasus penutupan dan kerusuhan TPA Bantargebang, sebenarnya kerusuhan TPST Bojong sudah diperkirakan sebelumnya. Alasannya, dari berbagai anatomi yang melatarbelakanginya, memiliki kemiripan dan bahkan kesamaan. Dalam buku yang saya susun, Konflik Sampah Kota: Catatan Reportase Konflik Persampahan Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi dalam Menangani TPA Sampah Bantargebang (Komunitas Jurnalis Bekasi, 2003), terlihat betapa berbagai sistem dan teknologi pengolah sampah cukup ideal. Setidaknya terdapat tiga sistem, yakni dikubur (balapres), dibakar (incenerator), dan sanitary landfill (menggunakan pelapis geo tekstil). Menurut konsepnya, semua sistem dan teknologi tersebut cukup aman dari sudut lingkungan hidup. Karya teknologi modern tersebut mulai menjadi bermasalah, begitu dikelola dengan manajemen yang kurang optimal dan tidak profesional. Masalah utama yang dikeluhkan sebagian besar warga, justru bukan di lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika diangkut menggunakan truk dari Jakarta ke TPA dan TPST. Pengangkutan sampah yang pada awal perjanjian tidak menimbulkan pencemaran, dilakukan secara sembarangan. Sampah yang dikirim masih basah dan mengandung banyak air lindi (leachete). Kondisi ini diperparah oleh banyaknya kendaraan pengangkut sampah yang bocor, terpal robek, dan simpul jaring tak utuh. Dampaknya, air lindi dengan aroma tak sedap berceceran sepanjang jalan-jalan utama, jalan tol, dan jalan kampung. Aroma tak sedap inilah yang dihirup warga metropolitan yang pengguna jalan. Warga mengeluh dan kerap menyumpahserapahi truk-truk sampah yang melintas. Pada masa Orde Baru yang represif, tidak memberi tempat bagi keluhan warga, sehingga pelanggaran yang dilakukan sopir truk sampah dan petugas dinas kebersihan, menjadi hal biasa tanpa sangsi. Tragisnya, perilaku buruk tersebut tidak berubah di era reformasi tatkala posisi masyarakat lebih kuat dari pada pemerintah. Keluhan pun mendapat tempat di berbagai media massa dan unjuk rasa. Protes menjadi bentrokan dan kerusuhan pun terjadi, tatkala pemerintah daerah bertindak arogan dan masyarakat yang menghendaki lenyapnya pencemaran lingkungan. Masyarakat mendapat tempat di hadapan wakil rakyatnya di DPRD. Sementara itu Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, selalu menerima laporan asal bapak senang (ABS), sehingga ketika ditanya berbagai pihak soal maslaah sampah, jawabannya selalu standar: sudah dikelola dengan baik. Sebagian anggota DPRD DKI jakarta cenderung elitis. Selama bertahun-tahun menduduki kursi empuk, boleh dikatakan mereka nyaris tidak pernah melakukan inspeksi ke lapangan yang beraoma busuk itu. Mereka lebih asik menghitung angka-angka dan pemecahan masalah di atas meja dan kertas. Kalaupun melakukan kunjungan, mereka lebih senang ?jalan-jalan? ke luar negeri untuk meninjau teknologi persampahan mutakhir atau mendengarkan ekspose calon investor, yang barang kali belum tepat untuk jangka pendek. Aparat peemrintahan di sekitar lokasi pembuangan sampah, entah kenapa, juga menyatakan kondisi wilayahnya aman untuk pembuangan sampah. Padahal di lapangan sampah berikut aroma busuknya adalah sesuatu yang ril dan tidak dapat dimanipulasi. Ada gula ada semut. Kehadiran TPA dan TPST, cepat maupun lambat akan menyedot kehadiran pemulung. Memang, kehadiran pemulung di TPST Bojong belum dirasakan warga sekitar. Namun di TPA Bantargebang, sejak dibangunnya tahun 1980-an, jumlahnya sudah mencapai sekitar 5000 orang. Pada mulanya para pemulung mengais rezeki di dalam TPA, tapi pada perkembangannya mereka menjadi tidak peduli dengan dampak lingkungan. Mereka memaksa atau kongkalikong dengan sopir truk agar menurunkan sampah sebelum dimasukkan ke dalam sanitary landfill. Sampah-sampah yang bernilai ekonomis mereka ambil, sedangkan sisanya mereka biarkan berceceran atau dibuang di empang dan sawah. Dampaknya, air lindi yang kerap mengandung bahan berbahaya dan beracuin (B3) tidak tertampung di dalam bak sanitary landfill dan tidak diolah di dalam instalasi pengolah air sampah (Ipas), melainkan langsung menyerap ke dalam tanah pemukiman warga. Para bos dan pemulung yang lebih cenderung mementingkan keuntungan ekonomi semata itu ingin segera sampah dikeluarkan dari badan truk. Kebetulan kontrol oknum petugass Dinas Kebersihan DKI Jakarta amat lemah, bahkan beberapa di antaranya menjadi oknum untuk mencari keuntungan di luar gaji atau honor resmi. Kesempatan dalam kesempitan itu dijadikan peluang. Maka oknum-oknum nakal itu pun kongkalikong untuk bertransaksi menjelang pintu gerbang TPA. Maka, hanay demi uang tambahan dan keuntungan sesaat, sampah dibuang di luar TPA. Ironisnya, para pelangar sistem tersebut tidak diberi sangsi. Kalau pun ada sopir truk sampah yang tertangkap tangan, hanya dikembalikan kepada atasannya. Setelah itu publik tidak mengetahui apakah diberi sanksi ataudibebaskan. Akibatnya, lingkungan sekeliling TPA yang seharusnya asri dengan pepohonan rindang dan sejuk, menjadi kumuh dan menjadi sumber pencemaran lingkungan paling dominan. Ventilasi gas keluar dari sampah yang terbuat dari paralon ikut dibabat, dipulung, dan dijual oleh pemulung. Tembok TPA banyak dijebol, sehingga siapa pun bisa masuk dan keluar TPA dengan bebas. Sedangkan sabuk hijau (green belt) berupa tanaman pelindung dan penyaring polusi udara tidak kunjung terwujud. Agar kemarahan publik yang berbuntut pada aksi penutupan dan kerusuhan seperti di TPST Bojong dan TPA Bantargebang, Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah di sekelilingnya, harus segera membenahi kelemahan manajemen persampahannya. Bahkan, karena telah menjadi persoalan besar, persoalan sampah tidak bisa hanya ditangani secara teknis, tetapi juga secara sosial, budaya, dan moral. Keliru besar kalau kita menganggap sampah sekadar persoalan kecil, teknis, sekadar soal kebersihan kota belaka. Langkah itu tentu saja tidak akan terwujud tanpa didukung semua komponen stakeholder. Perbaikan manajemen persampahan harus dimulai dari tingkat yang paling dasar, yakni kesadaran kultur pejabat dana masyarakat yang bersendikan pada nilai-nilai ajaran agama yang dianut setiap keluarga. Ali Anwar/Tempo Post Date : 25 November 2004 |