|
BANDUNG, (PR).- Tidak ada kamar mandi atau WC (water closet) yang lebih buruk dibandingkan dengan kamar mandi di sekolah atau lembaga pendidikan di Indonesia. Padahal, cara hidup bersih harus dilatih sejak dini kepada anak-anak dan sejak dari lingkungan terdekatnya seperti di sekolah. Cara hidup dan kultur yang dibangun itu berbeda dengan yang terjadi di Jepang. Di sana, lembaga pendidikan "Terokaya" yang menyerupai pesantren di Indonesia sangat memerhatikan dan menanamkan cara hidup bersih kepada setiap peserta didik. Itu dimulai dari menjaga sanitasi air dan bagaimana memanfaatkan air kotor dan tinja. Perbandingan itu diungkapkan Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. dr. Lukman Hakim, di sela-sela acara "4th International Symposium on Sustainable Sanitation" di Bandung, Senin (4/9). "Lingkungan pendidikan itu identik dengan WC kotor. Jadi, untuk menanamkan cara hidup bersih ke siswa, harus WC-nya dulu yang dibenahi," tuturnya. Kiaracondong Hasil survei LIPI di kawasan Kiaracondong Bandung menunjukkan, permukiman yang kepadatannya mencapai 30.000 orang/km2 itu, memiliki sumber air yang tercemar E.coli melebihi ambang batas. Apalagi, banyak rumah tangga meng gunakan WC umum dengan sedikit persediaan airnya. Sementara itu, Dirut PDAM Kota Bandung, H.M. Budiman, yang ditemui dalam acara yang sama mengungkapkan, pengelolaan air kotor di Bojongsoang, Kab. Bandung, baru menjangkau 58% penduduk kota di wilayah timur, tengah, dan selatan. Padahal, pengelolaan air kotor oleh PDAM itu sudah dilakukan sejak 1986. Sedangkan menurut Direktur Air Kotor PDAM Kota Bandung, Komara Affandi, 42% warga yang berada di wilayah utara dan barat Kota Bandung memang belum terjangkau pelayanan air kotor oleh PDAM. (A-160) Post Date : 05 September 2006 |