|
Jakarta, Kompas - Berbagai komponen penyebab banjir yang ada di permukaan tanah hingga saat ini belum diketahui karena tidak pernah diukur dan dihitung. Ini yang menyebabkan masalah banjir tidak pernah dapat diatasi dengan baik. Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hujan Buatan pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Baginda Patar Sitorus mengemukakan hal itu kepada wartawan di Jakarta, Rabu (25/2). "Beberapa hal yang mendasar berkaitan dengan masalah banjir tidak diketahui. Akibatnya, kinerja upaya penanggulangan banjir-khususnya di Jakarta-selalu rendah dan terlambat," ungkap Sitorus. Hingga saat ini, kata Sitorus, tidak pernah diketahui besarnya daya tampung permukaan wilayah rawan banjir dan besarnya kapasitas saluran yang direncanakan agar tidak terjadi banjir. "Membuat rencana pada tujuan yang tidak terukur, meski dilaksanakan dengan sangat baik, tidak ada gunanya. Itulah yang terjadi setiap tahun, dan banjir pun setiap tahun melanda Jakarta," tuturnya. Sitorus menyebutkan lima komponen yang harus dihitung dan diketahui sebelum menentukan langkah antisipasi yang akan dilakukan. Kelima komponen itu adalah air hujan dari hulu hingga hilir Jakarta, air pasang, air buangan dari industri dan rumah tangga penduduk Jakarta dan sekitarnya, kapasitas seluruh sungai, serta daya serap permukaan. Agar tidak terjadi banjir, perhitungan sederhananya adalah air masuk (air hujan, air pasang, dan air buangan) harus lebih kecil dari air keluar (kapasitas sungai) dan daya tampung (daya serap permukaan). "Solusi mengatasi banjir harus dimulai dengan mengukur kelima komponen tersebut dengan baik. Setelah itu, baru membuat rencana saluran pembuangan semacam Banjir Kanal Timur," tambahnya. Bila diperlukan Sitorus menjelaskan, banjir juga dapat diantisipasi dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Teknologi ini dapat diterapkan sewaktu-waktu bila diperlukan. "Upaya antisipasi banjir selama ini selalu terlambat karena pengambil kebijakan tidak percaya bahwa banjir dapat diatasi dengan teknologi," ujarnya. Di samping itu, katanya, cara-cara konvensional dalam mengantisipasi banjir-seperti membuat dan menguras saluran pembuangan-lebih menyenangkan dan menguntungkan bagi pelaksana proyek. Padahal, menurut Sitorus, pemanfaatan TMC jauh lebih murah biayanya dibanding kerugian yang mungkin timbul akibat bencana banjir. "Modifikasi cuaca hanya butuh biaya Rp 1 miliar per 10 hari. Akan tetapi, kalau sudah banjir, kerugiannya bisa ratusan miliar rupiah," katanya. Sementara itu, Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT Heru Sri Naryanto mengingatkan bahwa antisipasi paling efektif terjadinya bencana adalah dalam bentuk peringatan dini, yang tumbuh dari masyarakat sendiri. Sikap demikian bisa muncul jika dilakukan sosialisasi dan penyadaran secara berkesinambungan mengenai berbagai potensi bencana di sekitar masyarakat. (LAM) Post Date : 26 Februari 2004 |