Jakarta, Kompas - Komitmen negara maju mendanai upaya pencegahan dan adaptasi perubahan iklim melemah. Hingga pertemuan G-8 dan Major Economies Forum di Italia berakhir pekan lalu, komitmen negara maju sebatas janji dan masih enggan mengucurkan dana.
Melemahnya komitmen, khususnya pendanaan iklim tersebut diungkapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar di Jakarta, Selasa (14/7). ”Negara-negara maju tak mau membuka dompetnya. Kami kecewa dengan perkembangan terkini,” kata Rachmat, salah seorang anggota delegasi Indonesia, kemarin.
Semestinya saat ini negara-negara maju sudah mengucurkan dana untuk transfer teknologi, pembangunan kapasitas, serta fasilitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di negara miskin dan berkembang. Faktanya, mereka masih terus menahan pengucuran dana.
Langkah Pemerintah Inggris yang siap mengucurkan dana belum diikuti langkah negara-negara maju lainnya. Negosiasi iklim selama ini menyepakati, negara-negara industri wajib membantu negara berkembang dan miskin menyiasati dampak perubahan iklim.
”Kecenderungannya, mereka bertahan hingga menjelang pertemuan di Kopenhagen akhir tahun 2009 ini,” kata Rachmat.
Belum disepakati
Selain pendanaan iklim, target penurunan emisi gas rumah kaca pun belum disepakati sepenuhnya. Para pemimpin negara maju menyatakan mendukung penurunan emisi hingga 80 persen dari level emisi tahun 1990 lalu pada tahun 2050 mendatang atau program jangka panjang.
”Namun, mereka menolak target penurunan emisi 20-40 persen pada tahun 2020 mendatang atau program untuk jangka menengah,” kata Rachmat.
Di pihak lain, negara-negara berkembang menolak target penurunan emisi global hingga 50 persen pada tahun 2050 mendatang. Alasannya, tanpa dukungan nyata negara maju berupa transfer teknologi, pembangunan kapasitas, dan fasilitas, target global itu memberatkan.
”Negara berkembang menuntut adanya target jangka menengah itu dulu,” kata Masnellyarti Hilman, anggota delegasi yang lain.
Salah satu faktor penting keengganan negara maju mengucurkan dana dan target emisi jangka menengah adalah posisi China dan India. Dua negara berkembang itu tumbuh sebagai raksasa ekonomi baru.
Sebagai negara berkembang, kedua negara itu bebas dari target penurunan emisi yang banyak keluar dari industri. Bagi negara maju, kondisi itu dimaknai sebagai ancaman dalam negerinya.
Dikatakan Masnellyarti, China dan India bersikeras menolak menyepakati target penurunan emisi 50 persen pada tahun 2050. Akibatnya, negara-negara maju membatalkan persetujuannya menurunkan emisinya.
Persoalannya, negara kecil kepulauan tidak dapat menunggu hingga menghilang akibat kenaikan muka laut. (GSA)
Post Date : 16 Juli 2009
|