|
BANDUNG - Tingkat pendidikan terbukti tak ber-banding lurus de-ngan kreativitas, inovasi serta kesuksesan seseorang. Komar Purnama merupakan salah satu contohnya. Komar yang hanya mengenyam pendidikan formal hingga tingkat SD, ternyata memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi. Dan Komar pun akhirnya mencapai kesuksesan berkat biogas yang dibuatnya. “Saya hanya tamat sampai SD saja,” aku Komar jujur ketika mengawali pembicaraan dengan SH belum lama ini. Toh, bapak dari dua anak ini tak putus asa. Keprihatinannya terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sekitar empat tahun silam membuatnya berpikir keras untuk mencari bahan bakar alternatif. Sebuah tayangan televisi tentang kotoran sapi yang diolah menjadi bahan bakar alternatif (biogas) menjadi inspirasi baginya. Komar lalu mencoba mengembangkan biogas di kampung halamannya di Desa Haurngombo, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. Komar bahkan sempat membeli dua ekor sapi. Sayangnya, niatan Komar itu terhalang oleh mahalnya instalasi pengolah kotoran sapi menjadi biogas. Saat itu, harga sebuah instalasi mencapai Rp 3 juta. Meski begitu, niat Komar tak padam. Ia lalu berusaha mencoba sendiri membuat instalasi sederhana. Ketua Kelompok Sapi Perah Harapan Sawargi ini ternyata kemudian berhasil. Sebuah instalasi sederhana berhasil dibuatnya, dan biayanya ternyata tak sampai Rp 700.000. Dengan instalasi sederhana ini, Komar lalu mengolah kotoran sapi menjadi biogas. “Biogas dipakai untuk pengganti minyak tanah,” tutur Komar. Dari dua ekor sapi, mampu dihasilkan sebanyak 4,14 meter kubik limbah setiap harinya. Setelah diolah menjadi biogas, hasilnya setara dengan 2,56 liter minyak tanah atau 1,90 kilogram elpiji. Biogas ini digunakan untuk memasak. Setiap hari kompor berbahan biogas ini dipakai sekitar enam jam oleh Komar sekeluarga. Keberhasilan Komar ini kemudian ditiru tetangganya. Sampai sekarang, lebih dari 25 keluarga di Desa Haurngombo memanfaatkan biogas untuk memasak. Dua tahun silam, mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran Bandung melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Haurngombo. “Mereka menyarankan supaya biogas dipakai sebagai bahan bakar untuk energi listrik,” jelas Komar. Tak hanya menyumbangkan saran, Universitas Padjajaran Bandung ternyata juga menyumbang genset pembangkit listrik. Setelah diuji coba, biogas terbukti mampu dimanfaatkan sebagai bahan bakar genset tersebut. Dari situlah mereka kemudian memanfaatkan listrik dari reaktor biogas setiap hari, terutama pada saat beban puncak, yaitu pada pukul 17.00-22.00. Listrik berdaya 500 watt ini dimanfaatkan oleh Komar beserta keluarga dan tetangganya yang lain. Komar mengakui pemanfaatan biogas untuk pembangkit listrik ini membuatnya bisa berhemat. “Tagihan listrik saya turun sampai 50 persen,” ujar Komar. Di tengah kebutuhan energi alternatif, biogas yang dikembangkan oleh Komar dilirik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dengan bantuan lima reaktor biogas untuk sekitar 50 genset, PLN menjadikan Desa Haurngombo sebagai Desa Energi Mandiri. Tak hanya PLN, instalasi pengolah biogas yang dibuat Komar telah banyak dipakai di berbagai kota, seperti Purwakarta, Karawang, Subang, Bandung hingga Bekasi. Didit Ernanto Post Date : 21 Mei 2008 |