|
Dodong Kodir (56) tak bisa melenggang dengan menenteng tas plastik ke kampus sebab orang-orang pasti penasaran dan menghampiri dia. Maklumlah, Dodong biasanya punya sesuatu yang menarik dalam tas yang dijinjingnya, meskipun itu cuma seonggok sampah. Saat mengunjungi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta akhir April lalu, setelah ia mengisi acara pada Hari Tari Dunia di ISI Surakarta, Dodong mondar-mandir membawa kantong plastik di sekitar reruntuhan bangunan akibat gempa Yogyakarta setahun lalu. Orang pun tertarik melihat isi kantong itu, padahal sampah yang dia kumpulkan sudah ditaruh dalam mobil. Sampah itu disimpannya baik-baik dalam kendaraan yang membawanya melakukan perjalanan Bandung-Solo-Yogyakarta-Bandung. Sampah itu berupa bambu berdiameter 10 sentimeter dan panjang sekitar satu meter. Benda itu bekas properti panggung pada Hari Tari Dunia di ISI Surakarta. Di tangan Dodong, benda itu menjadi seruling besar yang suaranya agak ngebass. Pemusik pada Studio Tari, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini dikenal sebagai orang yang suka mengulik sampah menjadi alat musik dan penghasil bunyi. Karena keahlian itu ia sering diminta oleh seniman teater, tari, atau musik, menciptakan atau meniru bunyi-bunyi yang tepat untuk menyempurnakan ilustrasi musik mereka. Plastik hingga cangkir Banyak cara yang dilakukan Dodong untuk mendapatkan bunyi yang diinginkan, termasuk nongkrong di tempat penampungan sampah di kampungnya, Gang VII, Cisitu Lama, Kota Bandung. Ada cerita, tahun 1998 seniman Harry Rusli dan Harry Dim tengah menggarap pergelaran musik dan teater bertajuk "Petaka Sampah". Mereka membutuhkan suara lalat. Harry Dim menelepon Dodong dan minta dibuatkan alat yang menghasilkan bunyi ribuan lalat terbang. Pesanan itu harus cepat dilaksanakan karena pergelaran diselenggarakan sekitar dua pekan lagi. Maka, sejak pagi Dodong duduk di penampungan sampah. Dia mendengarkan suara lalat-lalat terbang. Keakrabannya dengan bunyi menyebabkan intuisinya terasah. Intuisi pula yang mendorongnya memilih secuil plastik tipis. Benda itu ia bayangkan seperti sayap lalat. Plastik tipis seukuran penghapus pensil itu diambil dari tempat sampah, lalu ditempelkan ke mulut, dan ditiup pelan-pelan. "Asyik, suaranya persis lalat terbang. Saya nongkrong di tempat sampah sampai sore dan jadi lalat seharian," ungkapnya saat ditemui di ruang tamu rumahnya yang sempit. Ruang tamu itu terasa sempit karena difungsikan pula sebagai gudang penemuannya. Ruang berukuran enam meter persegi itu, sekitar dua meter persegi di antaranya diisi setumpuk alat musik berbentuk aneh-aneh. Ada pegas yang dikaitkan pada cangkir kaleng dan disangga gagang kayu. Benda itu penghasil suara petir. Ada pula alat yang mirip dengan pegas yang lebih kecil, sebagai penghasil suara embusan angin. Selain suara angin dan petir, Dodong juga menyimpan suara laut saat tsunami, deburan ombak di pantai, longsor, suara jet, kicauan burung, serta puluhan bunyi lain. Bahannya pun macam-macam, dari peluru sepeda, tempat minum ayam, sampai ganjalan tiang bangunan. Barang-barang itu ia dapatkan dari onggokan sampah, dapur keluarga, diberi teman, atau membeli di pasar loak. Meski banyak alat yang harus dibeli, dia menghabiskan tak lebih dari Rp 200.000. Alat-alat itu ia pinjamkan kepada mahasiswa seni dan teman-teman seniman. Dodong tak takut barangnya hilang. Ketika sudah menciptakan sebuah alat penghasil bunyi tertentu, ia bisa membuatnya lagi. "Hal tersulit adalah menemukan alat untuk menghasilkan bunyi yang tepat," ujarnya. Berkat penemuannya, lelaki tamatan sekolah teknik (ST, setingkat sekolah menengah pertama) Jurusan Listrik ini bisa pentas dengan musisi-musisi dari berbagai belahan dunia, seperti Yunani, Jepang, Denmark, dan Perancis. Dia bermain antara lain dengan pemain alat petik oud dari Bahrain, Mohammed Haddad; pemain kontrabass Ukraina, Kamil Tchalawep; pemain pipa China, Yuan Chun; dan penyanyi tenor Perancis, Sebastien Obrecht. Aktual Tak sekadar mengeluarkan bunyi, alat musik dan penghasil bunyi buatannya dibentuk seartistik mungkin. Ia kadang mengambil jepit rambut bekas anaknya, kancing baju, atau pernak-pernik lain yang tak terpakai. Dalam menciptakan bunyi, ia selalu mengikuti hal-hal aktual. Misalnya, saat tsunami terjadi, Dodong terinspirasi membuat suara tsunami dan ombak di bibir pantai. Saat virus flu burung mulai menyerang, ia menciptakan bunyi kendang dari wadah minum ayam. Ia juga menciptakan bunyi longsor ketika banjir melanda negeri ini. Apa yang dilakukannya merupakan usaha menyaingi teknologi musik digital. "Teknologi sudah mampu menghasilkan banyak bunyi dan musik, tetapi masih banyak juga bunyi yang tak dapat dihasilkan oleh teknologi tersebut. Saya berusaha berkompetisi sekaligus melengkapi teknologi canggih," kata ayah tiga putri inimereka terjun di dunia tari dan musik. Dodong belajar musik secara otodidak. Sejak kecil ia sering menonton pertunjukan tari. Ia senang mendengarkan musik pengiring tari. Itu sebabnya ketika dia bersekolah di ST, ia merasa salah jurusan dan memutuskan berhenti pada tahun 1966. Dia lalu belajar secara nonformal pada Perguruan Tari Sekar Pakuan pimpinan tokoh tari Sunda, Yuyun Kusumadinata. Untuk mencapai perguruan tari itu, setiap hari Dodong berjalan kaki sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Yuyun memberinya kesempatan belajar musik pengiring tari. Yuyun, yang juga dosen pada Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung, lalu mengajaknya bekerja di almamater itu sekitar tahun 1976. Di kampus yang kini bernama STSI itulah, Dodong mengembangkan dan mengeksplorasi bunyi. Ia menciptakan musik yang tak ada pada gamelan. "Saya tak puas dengan yang biasa," katanya.YENTI APRIANTI Post Date : 09 Juni 2007 |