Kita dan Sampah

Sumber:Pikiran Rakyat - 22 Desember 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
SAMPAH memang sangat berhubungan dengan hal-hal buruk, tak disukai, menjijikkan, atau sesuatu yang mesti segera disingkirkan. Sampah, rupanya memang sudah menjadi bagian yang diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Bahkan, dalam kata sifat pun, sampah bukan selalu yang baik-baik. Ambil contoh kata sampah masyarakat, konotasinya sangat negatif, yakni sebagai anggota masyarakat yang mungkin berperilaku negatif, karena tidak sesuai dengan ukuran moral yang dianut lingkungannya.

Akan tetapi, kehadiran sampah tidak mungkin hilang atau lenyap hanya dengan mencacinya. Sampah akan selalu ada di rumah kita, di tetangga, di lingkungan RT, RW, desa/kelurahan, dan seterusnya. Sampah, barangkali tidak akan ada di antara kita, apabila kita tidak butuh sesuatu, misalnya tidak butuh makan, tidak butuh baju, tidak butuh benda atau barang-barang. Jadi, pada dasarnya selama masih butuh sesuatu, sampah akan selalu ada bersama kita dan karena sesungguhnya yang memproduksi sampah adalah kita juga.

Lantas, persoalan pun muncul ketika sampah dirasa menjadi gangguan. Rumah menjadi tidak nyaman karena tidak bersih lantaran ada sampah. Meski kitalah yang memproduksinya, sampah akan terasa menjadi ancaman apabila kehadirannya membawa dampak buruk, seperti terhadap kesehatan. Bagi mereka yang panik dan buru-buru ingin melenyapkan sampah dari pandangan, diambilah jalan pintas membuang sampah sembarangan atau dibakar. Lokasi yang paling mudah, biasanya selokan, anak sungai, atau sungai besar sekalian.

Untuk sementara, memperlakukan sampah seperti itu mungkin bisa mengatasi persoalan untuk sementara. Namun, tatkala sampah yang dibuang merupakan jenis yang tidak bisa larut dengan air dan hancur dalam tanah, bencana banjir pun tinggal menunggu waktu.

Oleh karenanya, kita sangat mafhum apabila dari hari ke hari memperlakukan sampah bukan lagi persoalan sederhana; ambil, kumpulkan, dan buang. Berbagai pengalaman menunjukkan, penanganan sampah sekalipun di negara maju bukan masalah mudah. Menyelesaikannya memerlukan gabungan kekuatan berbagai pihak. Di dalamnya, pemerintah tetap harus yang paling depan dan menjadi leader.

Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Menangani sampah tetap butuh pihak lain sebagai pendukung, yakni individu warga, komponen LSM, masyarakat, bahkan sampai ke perusahaan swasta. Pasalnya, memperlakukan sampah sangat terkait dengan kesadaran yang harus dimiliki setiap individu anggota masyarakat.

Seseorang jangan hanya merasa tidak nyaman berdekatan dengan sampah yang hanya ada di rumahnya, tetapi ia pun harus merasa tidak nyaman menyaksikan sampah di mana pun. Jika ia terbiasa tidak membuang sampah sembarangan di rumahnya, ia harus membawa kebiasaan itu apabila sedang jauh dari tempat tinggalnya.

Sebagai contoh, seseorang yang tiba-tiba membuang keluar sampah dari jendela kaca mobil mewahnya, jangan diartikan ia juga senang membuang sampah keluar dari jendela di rumah mewahnya. Kebersihan rumahnya pastilah selalu ingin terjaga. Namun, kebiasaannya belum bisa dibawa sampai ke luar rumah.

Di satu sisi, pemerintah juga jangan merasa cukup bertanggung jawab apabila hanya dengan memungut retribusi sampah, menyediakan armada angkutan, lalu membuang sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). Kalau hanya itu yang jadi andalan, persoalan sampah tidak tuntas.

Pengalaman menunjukkan, bagaimana akhirnya TPA Leuwigajah malah menimbulkan masalah baru berupa musibah, yang merenggut banyak nyawa. Malah, kini berbuntut panjang dengan masuknya aspek hukum, di mana ada penanggung jawab masalah sampah kini harus berurusan di pengadilan. Di satu sisi, itu baik sebagai warning bahwa memperlakukan sampah bukan soal sepele.

Tentu saja, kita sekarang sangat mendambakan penanganan sampah yang paripurna. Sampah tidak lagi sekadar dibuang dan disembunyikan di balik tanah, tetapi diolah sedemikian rupa menjadi hasil produksi yang memiliki guna. Jadi, paradigma penanganan sampah yang hanya dikumpulkan, dibuang, dan ditimbun, tak bisa lagi dipakai. Sampah perlu penanganan lanjutan, yakni diolah.

Hanya, biayanya tentu tidak murah. Pemerintah daerah hampir pasti tidak mampu membiayainya. Jika demikian, mengingat persoalan sampah akan terus bertambah dan kompleks, khususnya di kota-kota besar, apa salahnya sampah ditangani oleh setingkat departemen. Barangkali, jika di tarik dan menjadi kebijakan pemerintah yang lebih atas, hal-hal yang selama ini sulit ditangani oleh daerah, seperti menyediakan dana untuk mendirikan pengolah sampah dengan teknologi, mungkin bisa teratasi. Bahkan, tata niaga hasil olahanya pun, katakanlah seperti pupuk organik, bisa pula diatur sebagaimana mengatur tata niaga dan penyaluran pupuk buatan.***

Post Date : 22 Desember 2005