Kisah Tanda Tangan untuk Pengendalian Banjir

Sumber:Kompas - 08 November 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Ini adalah kisah tentang tanda tangan. Kisah ini menjadi begitu penting karena tanda tangan itu milik orang penting dan menyangkut banjir yang sering menimbulkan situasi genting di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

Mendung yang menutupi cakrawala Jakarta dan hujan yang kini makin sering turun adalah pertanda musim banjir akan tiba. Banjir membuat kita menoleh ke belakang, menyaksikan kembali apa yang terjadi pada awal 2002 dan apa yang terulang pada awal 2007.

Banjir pada awal Februari 2002 melanda 168 kelurahan di 42 kecamatan dalam wilayah Jakarta dan memaksa 97.380 keluarga (365.435 jiwa) mengungsi. Banjir menelan korban 32 orang meninggal dunia. Air mengalir tak hanya di kawasan perumahan biasa, tetapi juga hingga ke kawasan elite di Menteng, Jakarta Pusat.

Hingga tahun 2002, itulah banjir yang dinilai terparah dan terluas yang pernah melanda Ibu Kota (Kompas, 3 Februari 2002). Karena itulah, pada bulan Juni 2002 delapan instansi pemerintah membuat kesepakatan bersama: Program Penanganan Banjir.

Dalam kesepakatan itu, penanganan banjir dibagi menjadi Program Mendesak (jangka pendek) dengan biaya Rp 731,95 miliar, Program Jangka Menengah berbiaya Rp 4,334 triliun, dan Program Jangka Panjang dengan dana Rp 11,58 triliun.

Ada delapan petinggiMenteri Kimpraswil Soenarno, Menteri Dalam Negeri Hari Subarno, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Keuangan Boediono, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jawa Barat R Nuriana, dan Gubernur Banten H Djoko Munandaryang seharusnya membubuhkan tanda tangan dalam kesepakatan itu. Namun, tanda tangan itu tak pernah terkumpul lengkap.

Waktu dua tahun tak cukup untuk mendapatkan delapan tanda tangan pejabat tinggi ini. Seperti pernah dinyatakan Sutiyoso, ketidaklengkapan itu terjadi karena terdesak oleh Pemilihan Umum 2004.

Banjir yang merusak kenyamanan, mengancam keselamatan warga, dan keamanan fasilitas publik biasanya diiringi banjir kritik, terutama lewat media massa. Tudingan, antara lain, diarahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI yang dianggap tidak serius membersihkan sungai dari sampah dan tidak kunjung memperbaiki drainase.

Kritik lainnya tertuju kepada pemerintah pusat yang dinilai tidak memiliki komitmen dan ketegasan dalam penataan ruang di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur), daerah hulu 13 sungai yang melintasi kota Jakarta.

Wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai reservoirdaerah resapan airitu mengalami perubahan fungsi lahan yang berlangsung secara cepat. Hampir semua peraturan perundang-undangan buat melindungi kawasan resapan itu tidak membuahkan hasil. Itu yang dialami Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983, Keppres No 79/1985, UU No 24/1992, dan juga Peraturan Pemerintah No 47/1997.

Karena itulah, untuk maksud yang sama, dikeluarkan pula Keppres No 114/1999. Akan tetapi, hingga 2001 di kawasan Bopunjur telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5 persen dari ketentuan yang ditetapkan Keppres No 114/1999 tersebut. Penegakan hukum yang menjadi tanggung jawab pemerintah tidak terasa dalam urusan ini.

Maka, pada awal tahun 2007, Jakarta dan daerah sekitarnya kembali dilanda banjir besar. Hujan sejak 29 Januari hingga 2 Februari mengakibatkan sekitar 60 persen wilayah Ibu Kota terendam. Ketinggian air bervariasi mulai dari 30 sentimeter-3 meter. Jakarta lumpuh.

Kerugian ekonomi

Sama dengan banjir 2002, banjir 2007 juga mematikan aktivitas ekonomi. Penghitungan yang dibuat Bappenas menyebutkan, banjir itu menimbulkan kerugian senilai Rp 5,16 triliun di wilayah Jabodetabek. Ia merenggut 79 korban jiwa, 48 dari DKI Jakarta, 13 korban dari Kabupaten dan Kota Tangerang, serta 18 orang lagi di Depok, Bekasi, dan Bogor.

Setelah banjir surut, Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat kerja bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Pekerjaan Umum, Kepala Bappenas, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. Hasilnya adalah kesepakatan pengalokasian dana untuk antisipasi banjir di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Menurut kesepakatan itu, dana antisipasi banjir ini akan disalurkan melalui APBN Perubahan 2007 dan program tahun jamak pada APBN 2008 dan 2009. Agar rencana itu terealisasi, dibuatlah Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) RI tentang Penanganan Masalah Banjir di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (Jabodetabekjur).

Rancangan Inpres ini menyatakan, penanganan masalah banjir akan dilakukan dengan upaya struktural dan non-struktural. Upaya struktural, antara lain, dengan percepatan pembangunan BKT, penanganan sungai (normalisasi, pengerjaan pintu air, pengerukan muara) di wilayah Jabodetabek, rehabilitasi situ, perbaikan drainase, pengerukan waduk, dan pembuatan polder baru.

Untuk upaya struktural ini, dana yang dianggarkan Rp 9,5 triliun. Upaya non-struktural dilakukan dengan penataan ruang. Dana yang dialokasikan Rp 105,60 miliar.

Inpres yang direncanakan ditandatangani oleh RI 1, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada bulan Maret 2007 itu hingga kini masih tetap berupa rancangan. Jika Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat "berteriak-teriak" karena dana dari pusat untuk merealisasikan program pengendalian banjir itu tak kunjung turun (Kompas, 26/10), penyebabnya adalah Inpres yang menggantung itu.

Di Jakarta, Wakil Gubernur DKI Prijanto seperti orang yang hendak mengibarkan "bendera putih" ketika berbicara tentang kendala dana ini. Sulit mengatasi genangan dan banjir yang terjadi di Jakarta karena terbatasnya anggaran, katanya (Kompas, 3/11). Dana buat mengatasi banjir dalam APBD DKI 2007 hanya Rp 272 miliar. Kebutuhannya hampir empat kali lipat jumlah itu, yakni Rp 1,2 triliun.

Memenuhi kebutuhan itu, rupanya bagi pemerintah tidaklah mudah walau nilainya cuma 2,5 persen dari biaya Pemilu 2009, yang dianggarkan Komisi Pemilihan Umum.

Kendati Dinas Pekerjaan Umum DKI sedang memperbaiki drainase lingkungan dan kolektor di 230 lokasi di Ibu Kota, belum ada jaminan genangan sehabis hujan tak akan terjadi. Kali Grogol di Slipi memang sedang dikeruk. Sebagian Sungai Krukut dan Pesanggrahan juga sudah. Kegiatan itu akan disusul oleh Kali Sekretaris dan Kali Angke. Bangunan liar milik warga ditertibkan. Pembangunan Banjir Kanal Timur yang tersendat-sendat memang terus berjalan. Akan tetapi, di balik upaya Jakarta "menghindar" dari banjir, yang terbaca adalah tingkat keseriusan "menghindar" dari implementasi kebijakan penanganan banjir Jakarta.

Setelah penegakan hukum demi kelestarian kawasan Bopunjur tak membuahkan hasil, sesudah tanda tangan delapan pejabat tinggi tak terkumpulkan sampai bergantinya pemeritahan tahun 2004, Inpres penanganan banjir yang kini sudah berumur sekitar tujuh bulan masih tetap berupa rancangan.

Tidak lama lagi, mungkin, seiring dengan mengalirnya air butek bercampur sampah ke dalam rumah penduduk dan terjadinya pengungsian warga, saling lempar kesalahan atas tidak berjalannya rencana penanganan banjir di Jakarta bisa terjadi lagi. Kepepet menghadapi pemilu 2009 mungkin saja kelak akan menjadi alasan yang membuat Inpres penanganan banjir itu tak kunjung ditandatangani.(BE Julianery/ Litbang Kompas)



Post Date : 08 November 2007