Kisah Banjir di Dua Rawa

Sumber:Suara Publik - 01 Maret 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Berbagai kawasan pemukiman di ibukota dulunya dibangun dari Situ dan Rawa. Rawamangun, Rawabuaya, Rawajati, Rawabadak, Rawabelong, Rawabambu, dan banyak lagi. Suara Publik menyusuri dua wilayah korban banjir, yaitu Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan dan Rawabuaya, Jakarta Barat. Kondisi mereka sungguh memprihatinkan.

Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan

Debu dari sampah dan lumpur yang mengering di Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan, berterbangan saat truk pengangkut sampah lewat. Di atas jembatan Ciliwung, sebuah backhoe sedang mengeruk tumpukan sampah dari badan sungai dan memindahkan isinya ke truk sampah. Tak jauh dari situ, dua unit mobil pemadam kebakaran berhenti di dekat pemukiman. Para petugas dinas kebakaran sibuk bekerja membantu warga membersihkan rumah mereka. Semprotan air bertekanan tinggi sesekali dimuntahkan untuk menyapu lumpur dan sampah yang tersangkut di rumah warga. Jalan Kalibata Raya menuju Dewi Sartika Cawang Jakarta Timur terpaksa ditutup selama seminggu untuk memberi waktu petugas membereskan kekacauan akibat banjir.

"Kami sudah bekerja dua hari penuh, tapi baru beberapa rumah yang berhasil dibersihkan, saking banyaknya sampah dan lumpur yang menumpuk", ujar Roni, 28, dari Dinas pemadam kebakaran Jakarta Timur. Kawasan RT 02 RW 07 Kelurahan Rawajati merupakan wilayah banjir terparah di Jakarta. Sedikitnya 14 rumah di RT 02 pinggir kali, habis rata tersapu air. Di lokasi bencana, suasananya mirip dengan kawasan terkena tsunami. Sejumlah posko bantuan banjir berdiri di sekitar lokasi, seperti posko kesehatan sebuah partai politik, posko Kamtibmas Polres Jakarta Timur, dan sebuah posko banjir tanpa nama. Semuanya berusaha membantu kesulitan warga.

Para wanita dan anak-anak yang selamat berkumpul di pinggir jalan Kalibata tak jauh dari rumah mereka yang habis diterjang banjir. Beberapa orang tua menenteng kantong plastik berisi beras dan pakaian bekas jatah pembagian. Warga laki-laki kebanyakan turun ke puing-puing rumah mereka mengais barang yang masih bisa dipakai. Seorang bapak berbaju lusuh keluar dari rumah yang ambruk dengan sepeda kecil, mungkin milikanaknya. Sedangkan tetangga di sebelah atas sibuk mengeluarkan lumpur dari rumahnya. Sekujur tubuh dan muka kedua orang itu belepotan lumpur dan tanah. Saat Suara Publik minta waktu bicara, keduanya menolak dan menjauh.

"Ini musibah terburuk yang kami alami," kata Nursalim, 35, yang rumahnya tersapu banjir. Beruntung dia beserta isti dan dua anaknya selamat. Menurut Nursalim, mereka sempat keluar satu jam sebelum rumah mereka terseret air, saat si kecil (anak kedua umur 4 tahun) menjerit-jerit mendengar suara guntur.

"Banjir 2005 tidak separah ini. Baru tahun ini saya sampai kehilangan rumah," ujar Nursalim dengan sendu. Dia mengaku akan segera melapor ke ketua RT untuk mengurus surat-surat berharga yang hilang bersama banjir. Selain Nursalim, ratusan warga Rawajati harus mengungsi ke tempat yang tinggi. Beberapa warga membuat tenda darurat di mulut jembatan fly over Kalibata, sambil sesekali menyetop kendaraan lewat untuk meminta sumbangan. Belum jelas apa yang akan dilakukan mereka yang rumahnya hilang terseret banjir. Warga berharap bantuan dari pemerintah, tapi mereka enggan dan tidak tahu prosedurnya.

Saat ditanya mengapa enggan melapor ke pemerintah, Umar, 38, warga setempat mengaku takut dipersalahkan karena membangun rumah di bantaran sungai. "Waktu banjir 2002, pemerintah menyalahkan warga yang tinggal di bantaran kali sebagai penyebab banjir dan meminta kami pindah dari sini," kata Umar. "Kalau kami dipersalahkan, bagaimana mereka yang membangun mall-mall dan bangunan apartemen di daerah resapan air? Kenapa bukan mereka saja yang disuruh pindah? Kami minta perlakuan adil," tegasnya.

Kelurahan Rawabuaya, Jakarta Barat

Kepulan asap menyesakkan nafas dan bau lumpur busuk terasa menyengat saat memasuki kawasan RT 06 RW 11 Kelurahan Rawabuaya Jakarta Barat. Kepulan asap itu berasal dari bakaran sampah bekas banjir milik warga bantaran sungai. Berbagai barang seperti kasur dan perabotan rumah berceceran di halaman rumah untuk dikeringkan. Tumpukan pakaian kotor berlumpur dipisahkan dari tumpukan pakaian layak pakai milik warga. Suasana cemas dan muram tampak dari wajah warga yang rumahnya terendam banjir.

"Kami belum mendapat bantuan apapun. Dari kemarin cuma dapat jatah ini," ujar Warsini ibu rumah tangga di RT 06, sambil menunjuk potongan mie instan kering dalam kantong plastik di tangannya. Wajah ibu beranak dua ini tampak kuyu, menyuapi salah satu anaknya Rika, berumur 5 tahun. Meskipun tampak dekil dan kotor, Rika tampak riang bermain bersama anak-anak tetangganya. Meskipun jadi korban banjir, Warsini masih bersyukur karena seluruh keluarganya selamat. "Tetangga belakang rumah saya masih stres karena anaknya semata wayang belum ketemu sampai sekarang". Anak tertua Warsini, Firdaus, 9 tahun, dibiarkan mencari sumbangan receh di jalan Daan Mogot untuk menambah penghasilan keluarga.

"Rumah saya di bawah sono, mas," kata Warsini menunjuk rumah sederhana yang sedang dibersihkan warga dari air dan lumpur bersama rumah-rumah di sekitarnya. Di tempat Warini tinggal, sekitar 45 rumah terendam setinggi 2 meter. Hari ini, kaum pria di RT 06, bekerja bakti membersihkan rumah dibantu para relawan dari luar. Banyak dari relawan adalah mahasiswa dan anggota pencinta alam. "Hari ini kami datang membawa dua kuintal beras, pakaian layak pakai, dan tenaga dokter gratis untuk mengobati warga yang sakit" kata Taufan Hidayat, 36, seorang relawan yang juga jurnalis untuk sebuah media asing di Jakarta. "Di daerah ini banyak anak dan ibu-ibu sakit. Dari kemarin, gue dan teman-teman fokus membantu warga sakit dengan membayari dokter dan obat-obatan yang dibutuhkan," tambahnya.

Orang seperti Taufan hanyalah satu dari banyak warga Jakarta yang tergerak untuk membantu korban banjir di Jakarta. Di kawasan iu, kebetulan tidak banyak pos bantuan banjir atau pos kesehatan dari partai politik maupun organisasi sosial. Keberadaan kelompok kecil seperti Taufan diterima warga dengan tangan terbuka. "Kami lebih suka dibantu kelompok kecil seperti itu. Karena bantuan mereka bisa langsung diterima dan tidak akan dikorupsi," kata Rohidi, warga RT 05 RW 11. Rohidi yang bekerja sebagai tukang jahit mengatakan wilayah mereka setiap tahun terkena banjir, tapi paling jarang memperoleh bantuan pemerintah. "Tahun 2002 banjir setinggi 2 meter. Tahun ini sampai 3 meter. Tapi bantuan dari pemerintah hampir tidak ada yang sampai," keluh Rohidi yang diamini tetangganya.

Pemandangan berbeda tampak di RT 05 sampai RT 07. Di kawasan ini banyak warga mengungsi ke bantalan rel kereta api jalur Tangerang-Kota yang terletak lebih tinggi dari perkampungan warga. Berbagai perabotan dan alas tidur bertebaran bersama tenda warna-warni yang berdiri secara darurat. Saat malam, kawasan rel ini ramai karena banyak warga dan anak-anak tidur di tenda di atas rel. Banjir besar yang melanda ibukota memaksa PJKA menghentikan sementara operasional kereta api sampai situasi kembali normal.

Di pengungsian rel kereta api, Andi, siswa kelas dua SMP 82 Pesing Jakarta Barat menceritakan pengalamannya terjebak di atap saat banjir menyerbu rumahnya. "Saya dan orang tua terpaksa mengungsi ke atap waktu air masuk ke rumah. Saya kedinginan karena harus berenang membantu Bapak menyelamatkan barang ke loteng. Paginya, kami mengungsi ke rel kereta membawa perabotan yang selamat. Ibu dan adik sempat batuk dan demam, tapi sekarang sudah sembuh," tutur Andi. Anak lelaki yang beranjak remaja ini berharap orang tuanya bisa menemukan tempat tinggal yang lebih baik. "Tapi apa mungkin? Bapak saya cuma tukang kredit," tanya Andi dengan senyum kecut.

Rohidi, warga RW 11 menjelaskan, banjir sudah jadi langganan warga Jembatan Gantung Pertamina, Kelurahan Rawabuaya, Jakarta Barat. Saat ditanya kemungkinan relokasi, warga umumnya menolak jika pemerintah mau memindahkan mereka ke tempat lain. "Kami sudah 13 tahun tinggal disini. Mau pindah kemana? Kontrakan dimana-mana mahal, belum tentu dapat tempat yang bebas banjir," kata Rohidi.

Wapres : Banjir Tanggung Jawab Pemda DKI

"Semakin kaya orang, makin banyak vila yang mereka bangun. Sehingga pegunungan penuh vila. Wilayah hijau, termasuk sungai-sungai menjadi makin sempit dan tidak memadai sebagai sistem drainase," kata Wakil Presiden, Yusuf Kalla, dalam sebuah wawancara yang dilansir kantor berita AFP, Jumat (16/2).

"Sutiyoso harus ikut bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi, baik atau buruk," lanjut Kalla dalam wawancara di istana. "Namun di pihak lain, pemerintah nasional juga harus berbagi tanggung jawab tersebut," sambung Wapres (*)



Post Date : 01 Maret 2007