|
Seperempat abad lalu, isu lingkungan hanya milik lembaga yang membidangi lingkungan. Kini, siapa pun, individu maupun kelompok, sekalipun kesehariannya jauh dari urusan lingkungan, berteriak lantang tentang perlunya menjaga dan memelihara lingkungan. Tren? Masih tercatat di benak Erna Witoelar, pendiri Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), susah payahnya menggemakan isu lingkungan. Keterbatasan ”lapangan bermain” membuat gerakan kampanye terbatas pada penyuluhan di sekolah atau kelompok masyarakat tertentu. Kondisi itu berlangsung bertahun-tahun, hingga tahun 1997-an, saat isu pemanasan global dan perubahan iklim menggema di seantero dunia. Meskipun disebut titik balik, gerakan lingkungan di dalam negeri saat itu masih terbilang jauh dari ingar-bingar. Apalagi bila dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun terakhir. ”Pertengahan tahun 1990-an lalu, mendadak banyak orang peduli lingkungan, ketika pemanasan global dan perubahan iklim dibicarakan. Mereka baru sadar penyebab kerusakan lingkungan yang mengancam Bumi ini bersumber pada diri sendiri,” kata Erna, seusai acara Kampanye Indonesia Hijau dan Bersih gelaran Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) di Sekolah Dasar Negeri 02 Menteng, Jakarta Pusat. Selain organisasi nonprofit, puluhan bahkan mungkin ratusan perusahaan saat ini ramai ”merambah” kampanye lingkungan melalui sarana pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR). Ratusan juta hingga miliaran rupiah dialokasikan untuk berbagai kegiatan. Di ajang Green Festival April lalu, misalnya, sejumlah perusahaan bergabung dalam Green Initiative Forum. Festival digelar untuk penyadaran masyarakat tentang pemanasan global dan perubahan iklim. Corporate Communication Panasonic Gobel Indonesia Susy Darmayanti menyatakan, keikutsertaannya dalam kampanye lingkungan bukan karena tren. Prinsip-prinsip ramah lingkungan dalam proses produksi telah lama dimulai. ”Kebijakan kami terapkan dulu di dalam, baru kampanye di luar,” kata dia. Sejak tahun 1998, Panasonic global membuat rencana hijau (greenplan) tahun 2010, yang berupa pengurangan komponen produk dari logam berbahaya, seperti timbal dan krom. Perusahaan lain, yang terbilang rajin mendukung kampanye lingkungan, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), menyatakan akan terus mendukung kampanye di dalam ataupun luar negeri. Penghasil bubur kertas dan kertas terbesar kedua di dunia, yang merupakan bagian dari Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) itu, berurusan dengan kepolisian terkait tudingan menampung kayu ilegal untuk mencukupi kebutuhan bahan baku. APRIL, dua kali bermitra dengan Program Lingkungan PBB (UNEP) dalam ajang pemberian penghargaan Champion of the Earth. ”Kami terus membuktikan bahwa kami menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan dengan mendukung kampanye lingkungan di mana pun,” kata Manajer Humas PT RAPP Troy Pantouw. Sebatas citra? Mengenai ingar-bingar kampanye ramah lingkungan saat ini, aktivis sosial dan lingkungan Sandra Moniaga menilai, hal itu sebagai perkembangan positif. Saat ini sedikit banyak ada peningkatan kesadaran akan lingkungan. ”Dulu, bicara mengenai pengurangan konsumsi kertas dan energi dianggap aneh. Sekarang, hampir semuanya bicara itu,” kata Ketua Badan Pengurus Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (Huma) itu. Sandra mengatakan, gugatan mengenai keikutsertaan perusahaan dalam kegiatan kampanye lingkungan tak terhindarkan. Apalagi, bila itu dilakukan perusahaan-perusahaan yang tengah disorot aktivitasnya. Akan tetapi, keterlibatan siapa saja dengan motif apa pun tetap bermanfaat bagi upaya penyadaran menjaga atau memelihara lingkungan. ”Dengan kondisi kerusakan lingkungan seperti sekarang ini, tak ada alasan untuk tidak berbuat sesuatu. Buat perusahaan, yang penting adalah bagaimana kesadaran itu terinternalisasi dalam proses produksi mereka,” kata dia. Persoalan internalisasi itulah yang hingga saat ini dipertanyakan banyak pihak, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tak sedikit tudingan bahwa CSR maupun kampanye tak lebih sebagai bemper pembentuk citra. Menurut Sandra, proses produksi berdampak jauh lebih besar terhadap lingkungan atau sosial daripada sebatas CSR atau kampanye. Akan tetapi, kampanye tetap dibutuhkan dengan harapan berimbas pada proses produksinya. Susy mengatakan, Panasonic tak sebatas membentuk citra ramah lingkungan. Perusahaan itu mengklaim sebagai satu-satunya perusahaan di Indonesia yang mematuhi ketentuan di Eropa tentang pengurangan penggunaan bahan-bahan berbahaya yang dilarang (RoHS). Salah satu produk pendingin ruangan mereka telah menggunakan refrigeran ramah ozon (R410A), yang disediakan di bengkel-bengkel resmi Panasonic. ”Kami sudah mengembangkan kebiasaan menanam pohon setiap ada tamu penting dan pembukaan kantor cabang baru. Sekalipun langkah sederhana, tetapi kami kembangkan di dalam,” katanya. Kampanye permanen Demi efektivitas dan keberlanjutan kampanye, Sandra mengusulkan keberadaan ajang permanen, seperti layaknya museum. Di tempat khusus itu berbagai informasi seputar pemanasan global, perubahan iklim, dan kehancuran lingkungan didokumentasikan bagi publik. Berkaca dari ajang Green Festival, Erna berpendapat perlunya ajang serupa digelar rutin. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah, dengan dampak perubahan iklim menjadi ancaman nyata. ”Pasti bisa, tinggal kemauan saja. Apalagi kalau berbagai informasi seperti di Green Festival itu sudah ada dan dirawat dengan baik,” kata dia. Beberapa informasi dari ajang Green Festival dipinjam untuk ditampilkan dalam kegiatan SIKIB, pekan lalu. Kini, momentum sedang berwujud. Sinergi menanti siapa yang akan memulai. Seperti kehidupan, penggiat lingkungan sebenarnya tak lagi kesepian seperti seperempat abad silam. Gesit Ariyanto Post Date : 16 Mei 2008 |