|
Tiada yang pernah membayangkan, ribuan warga Kelurahan Kembangan dan Kelurahan Rawa Buaya, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, kini hidup di atas rel kereta rel listrik (KRL). Warga juga tak pernah ada keinginan sebelumnya untuk tidur, mandi, dan mencuci di atas bebatuan dan batang besi. Awal Februari 2007 menjadi awal kelabu bagi warga yang tinggal di sekitar rel, yang sebagian besar adalah kaum urban. Warga harus menanggung kesalahan penataan ruang, termasuk tergusurnya sejumlah daerah resapan air. Mereka kini terpaksa tinggal di jalur KRL karena air bah tak terserap lahan hijau yang seharusnya disediakan pengembang. Beginilah jadinya, hidup berhari-hari dalam tenda yang didirikan di atas rel KRL, dan juga dikelilingi genangan air. Selasa itu begitu menyengat. Suprapto (40) menjemur pakaian basah yang baru dibilas istrinya. Selain untuk mencuci pakaian, genangan air itu juga mereka gunakan untuk mandi dan tempat buang air kecil maupun besar. Bagi Suprapto, mencuci dan menjemur pakaian di atas rel kereta sudah dilakukannya berkali-kali. Apalagi genangan air juga belum stabil. Siang itu genangan air mencapai batas atas pintu rumahnya setelah sebelumnya sedikit menurun. "Tadi malam hujan lebat. Air naik lagi. Pakaian yang sebelumnya sudah saya cuci basah lagi," tuturnya sambil menunjukkan kasur satu-satunya yang juga basah. Tidak jauh dari tempatnya, sekitar 100 meter ke arah timur, Hindun (45), perempuan beranak empat, juga sedang memasak. Ia memasak dalam tenda terpal biru di atas bantalan rel yang didirikan suaminya. Siang itu ia sendirian karena suaminya yang bekerja sebagai tukang kayu sedang pergi. Di stasiun kereta rel listrik Kembangan juga tidak lagi terlihat kerumunan manusia yang siap menjejali KRL. Tempat itu disesaki tenda terpal plastik milik warga korban banjir beserta segala perlengkapannya. Semangat hidup Dalam keterbatasan, memang selalu ada cara untuk bertahan. Meski tak ada air bersih, listrik mati, apalagi fasilitas kesehatan yang baik, kehidupan warga Kembangan tetap harus berlangsung. Meskipun hidup di atas rel KRL, bukan berarti tidak ada semangat hidup di jalur KRL sepanjang empat kilometer yang membentang dari Rawa Buaya ke Kedaung Kali Angke itu. Biar rumah tergenang air, namun sejumlah pengungsi masih sempat mendirikan tempat usaha di atas rel. Mereka menjual minuman, gorengan, kopi, teh, dan rokok yang lumayan laku di tengah harapan genangan surut. Bahkan, sejumlah warga yang jeli menyediakan jasa charging atau pengisian baterai telepon seluler. Sekali pengisian, pemilik telepon seluler mesti membayar Rp 3.000. Layanan pengisian itu laku keras. Di tengah listrik mati, kebutuhan untuk berkomunikasi dengan sanak saudara atau rekan kerja memang tetap mesti berjalan. Hendra (20), pemuda lajang yang juga pedagang pakaian dalam perempuan, sengaja datang ke lokasi banjir untuk menjual dagangannya. Pakaian yang dibeli dari Pasar Tanah Abang itu dijual dengan harga Rp 6.000 untuk tiga lembar. Dalam sehari ia bisa menangguk untung hingga Rp 40.000. Banjir juga membuat Handa (47), buruh bangunan, yang berpenghasilan Rp 27.500 sehari, harus kreatif. Selama banjir, ia tidak bekerja. Padahal, dia memiliki empat anak usia sekolah yang mesti dinafkahi. Ia pun menyewa sebuah gerobak sayur milik Jumadi, warga Blok N Perumahan Green Garden, Jakbar. Dengan uang sewa Rp 25.000 sehari, gerobak sayur itu dijadikan sarana transportasi keluar masuk bagi warga yang ingin menembus genangan air. Sekuat tenaga gerobak itu ia dorong bersama tiga warga lainnya menuju tujuan. Sekali menyeberangi banjir, penumpang cukup membayar Rp 15.000 per orang. Dalam sehari, Handa bisa menyeberangkan puluhan orang. "Setelah dibagi bersama tiga teman dan membayar uang sewa, cukuplah pendapatan saya dalam sehari," katanya. Kesulitan memang membuat warga urban menjadi realistis. Tetapi, mereka tetap berharap banjir segera surut. (ndy/hln) Post Date : 07 Februari 2007 |