|
Bandung, Kompas - Ketinggian air banjir di Kabupaten Bandung kembali naik, Rabu (23/2) malam sekitar pukul 21.00. Di beberapa lokasi ketinggian air mencapai dua meter. Sementara itu, logistik di tenda-tenda pengungsian sudah hampir habis. Hujan deras yang mengguyur wilayah Kabupaten Bandung, Rabu sore, mengakibatkan beberapa wilayah di Kecamatan Dayeuhkolot, dan Baleendah kembali terendam air. Sebelumnya, Rabu pagi sekitar pukul 06.00, banjir mulai surut. Beberapa warga kembali ke rumah untuk membersihkan dan menata barang-barang milik mereka. Beberapa warga lainnya yang rumahnya masih tergenang air, memilih untuk tetap bertahan di tenda pengungsian, menunggu hingga banjir surut. Namun, hujan deras yang mengguyur sejak sekitar pukul 15.00 menyebabkan air kembali meninggi. Hingga pukul 21.00, ketinggian air telah mencapai dua meter. Di RW 14, misalnya, air yang belum surut pada pagi hari kembali meninggi. Akibatnya, warga yang semula pulang ke rumah akhirnya kembali ke tenda pengungsian. Sementara itu, listrik yang pada Rabu pagi mulai menyala, terpaksa dimatikan lagi akibat genangan air. Kepala Seksi Informasi dan Hubungan Masyarakat Kecamatan Dayeuhkolot Inen mengatakan, persediaan logistik di tenda pengungsian nyaris habis. Inen mengatakan, persediaan beras telah habis. Persediaan mi instan hanya tersisa sekitar 30 dus, biskuit 2 dus, dan air mineral 2 dus untuk keperluan sekitar 13.000 warga Desa Citeureup dan Desa Dayeuhkolot yang menjadi korban banjir. "Kalau logistik warga kami habis, kami tidak tahu lagi harus bagaimana menanggulangi bencana ini," keluh Inen. 25.000 jiwa Inen mengatakan, warga korban banjir di Kecamatan Dayeuhkolot hingga Rabu mencapai sekitar 25.000 jiwa. Korban tersebar di lima wilayah, yaitu Desa Cangkuang Wetan, Desa Citeureup, Desa Dayeuhkolot, Desa Cangkuang Kulon, dan Kelurahan Pasawahan. Di tempat pengungsian beberapa warga mengeluhkan minimnya distribusi air bersih. Akibatnya, mereka terpaksa membeli air galon dari warung- warung setempat. Hal itu dirasakan berat bagi warga yang saat ini kehilangan sejumlah harta benda akibat banjir. Peneliti Ekologi Lanskap dari Universitas Padjadjaran Parikesit menilai upaya maksimal yang dapat dilakukan untuk menghindari korban banjir ialah melalui peringatan awal terhadap banjir. Selain itu, pemerintah perlu memikirkan upaya untuk membebaskan lahan permukiman warga di daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Dengan demikian, korban akibat banjir dapat dikurangi. Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Ade Suhanda mengatakan, pengerukan Sungai Citarum sebagai salah satu upaya mengantisipasi banjir di Kabupaten Bandung, harus disosialisasikan lebih dulu. Bila tidak disosialisasikan, masyarakat setempat yang belum memiliki kesadaran lingkungan akan tetap membuang sampah ke sungai tersebut. Salah satu penyebab utama banjir, menurut Ade, banyaknya sampah yang menyumbat gorong-gorong dan aliran sungai. Hal itu diakibatkan masyarakat sekitar sungai yang sering membuang sampah ke sungai. Ade mencontohkan, Kecamatan Beleendah, Kabupaten Bandung, pernah terbebas dari masalah banjir karena sungai Citarum sempat dikeruk. Sungai tersebut pada awal tahun 2000 dibersihkan dari lumpur dan limbah setebal tiga meter. Namun, hal itu hanya bertahan selama tiga tahun karena masyarakat kembali membuang sampah ke sungai. "Karena itu, sosialisasi penting untuk menyiapkan masyarakat sekitar. Kalau tidak, sayang karena biayanya mahal sekali," kata Ade. (lkt/bay) Post Date : 24 Februari 2005 |