|
DARMO (50) berdiri di depan gubuk reotnya yang berada di tengah-tengah areal pertambakan di Kampung Nagrak, Kelurahan Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Siang itu, Rabu (28/1), Darmo terpaksa mengosongkan semua tambaknya karena sudah tercemar air lindi (air hasil pembusukan sampah). Bencana datang ketika tumpukan sampah yang menggunung muncul di Cilincing. Dari gubuknya, Darmo hanya bisa menatap tambak-tambaknya yang sedang dikosongkan. Dengan pompa air yang menderu-deru, air tambak milik Darmo disedot ke luar areal tambak melalui pipa pembuangan. Darmo mengosongkan tambaknya untuk mengambil sisa-sisa udang dan ikan bandeng yang masih hidup. Beberapa hari sebelumnya, puluhan ribu udang dan ikan bandeng-yang dengan susah payah ia budidayakan-mati sia-sia akibat tercemar air lindi. Padahal, sebentar lagi (akhir Februari ini), tambak-tambak itu sudah bisa dipanen. Selama tiga bulan Darmo menunggu hasil tambaknya. Sebelum Lebaran tahun lalu, Darmo menebar 30.000 bibit udang dan 5.000 bibit bandeng ke dalam tiga areal tambak. Modal yang dia keluarkan tidak kecil. Untuk membeli bibit udang dan bandeng, Darmo mengeluarkan modal Rp 10,5 juta lebih, termasuk untuk menyewa lahan. Darmo memang bukan petambak kaya yang memiliki lahan sendiri. Untuk membuka usaha tambak, Darmo menyewa tiga lahan tambak seluas dua hektar. Uang sewanya Rp 3 juta selama dua tahun. Untuk membeli bibit udang, Darmo menghabiskan Rp 6 juta, sedangkan untuk bibit bandeng, dia mengeluarkan Rp 1,5 juta. Belum biaya lain-lain untuk membeli pupuk dan segala macam keperluan tambak. "Uang itu saya kumpulkan dari hasil keringat menjadi sopir angkot," kata Darmo. Sehari-harinya, Darmo memang bekerja sebagai sopir angkot jurusan Cilincing-Tanjung Priok. Karena ingin meningkatkan penghasilannya, pria asal Jawa Tengah itu mencoba membuka tambak. Panen tambak yang diharapkan bagus ternyata malah "memukul" Darmo. Jangankan mendapat keuntungan, akibat pencemaran air lindi, Darmo pun terpaksa gulung tikar. Pasalnya, tambak yang sudah tercemar air lindi sudah tidak bisa digunakan lagi. Air busuk berwarna hitam pekat itu sudah menyerap masuk ke dalam tanah yang digunakan untuk tambak. Kalau pun akan digunakan, rehabilitasi lahan harus dilakukan dan biayanya tidak murah. Hal yang sama dialami Nur Soleh (24), petambak udang dan bandeng, yang sudah lama membuka usaha tambak di Kampung Nagrak. Soleh akan segera menguras empat areal tambaknya untuk mengambil sisa-sisa udang dan bandeng yang masih hidup. Sementara sebagian besar udang dan bandengnya sudah mati terlebih dulu akibat tercemar air lindi. Padahal, akhir Februari ini, tambak milik Soleh sebenarnya sudah bisa dipanen. Soleh menebarkan 15.000 benih udang ke dalam satu areal tambak dan 7.000 benih bandeng. Berarti kalau ditotal, ada hampir seratus ribu udang dan bandeng yang dimiliki Soleh. Setiap tahun Soleh bisa panen empat kali. Sekali panen, Soleh biasanya mendapat penghasilan Rp 24 juta dari empat tambaknya. Berarti dalam satu tahun, Soleh biasa mendapat penghasilan 96 juta. Soleh mengelola tambaknya secara turun-temurun. Sejak 20 tahun lalu, kata Soleh, keluarganya sudah membuka tambak di Nagrak. Harapan Soleh untuk terus mengumpulkan uang Rp 96 juta per tahun kini pupus akibat tambak- tambaknya tercemar air lindi. "Belum tahu mau usaha apa lagi," kata Soleh. Darmo memang belum sukses seperti Soleh. Karena masih baru, Darmo belum bisa mendapat penghasilan sebesar Soleh. Meski begitu, kegiatan yang sudah digelutinya selama enam bulan ini sudah menunjukkan kemajuan. Pada panen bulan depan, Darmo berharap bisa mengantongi penghasilan Rp 6 juta dari ketiga tambaknya. Itu berarti penghasilan Darmo dalam satu tahun bisa mencapai Rp 24 juta. Sekarang Rp 100 ribu pun belum tentu dapat. Darmo mencoba mengais-ngais sisa udang dan bandengnya di tambaknya yang sudah kosong. "Ya, daripada tidak dapat sama sekali," kata Darmo. SEMENJAK lahan kosong di sekitar tambak digunakan untuk membuang ribuan ton sampah milik warga Jakarta, air lindi mengalir ke mana-mana. Air busuk berwarna hitam itu bukan saja mencemari tambak milik warga, tetapi juga merusak areal persawahan. Warga mengeluhkan sawah-sawah milik mereka tidak bisa ditanami. Eddy Djubaedi, yang sudah 12 tahun bekerja sebagai petambak udang dan petani, mengatakan tidak hanya merugi udang dan bandeng. Areal sawahnya seluas sembilan hektar sekarang tidak dapat ditanami padi dan palawija akibat tercemar air lindi. Untuk sawah, Eddy menuturkan merugi hampir Rp 40 juta. Kalau dibiarkan terus, Eddy khawatir harus pindah lokasi. Tentu saja hal itu membutuhkan dana yang banyak. "Kalau tidak ada uang lagi, saya terpaksa pulang kampung. Padahal di sana tidak ada pekerjaan," kata Eddy di kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) beberapa waktu lalu. Bersama 26 petambak lainnya, Eddy datang ke kantor KLH untuk mengadukan soal pencemaran air lindi yang mengalir TPS Cilincing Air lindi mencemari tambak hingga puluhan hektar.. Menurut data Suku Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Jakarta Utara, total luas tambak yang terkena dampak langsung dari pencemaran air lindi mencapai sekitar 78 hektar. Sementara berapa total jumlah produksi udang dan bandeng yang tidak bisa dipanen belum dikalkulasi. Kerusakan lingkungan akibat pembuangan sampah memang sudah lama terjadi. Akan tetapi, Pemerintah Provinsi DKI (Pemprov) selama bertahun-tahun tidak juga mau mengubah cara pengelolaan sampah milik warganya. Tengok saja Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang yang bertahun-tahun diprotes warga. Janji Pemprov DKI untuk mengolah sampah dengan sistem sanitary landfill ternyata tidak sepenuhnya ditepati. Sebelum diprotes warga, kondisi di TPA Bantar Gebang sangat parah. Saluran untuk air lindi tidak semua dibangun dan bisa dimanfaatkan untuk membuang air lindi ke Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL). Akibatnya, air lindi berceceran ke mana-mana. Tumpukan sampah yang seharusnya sudah diuruk tanah pada setiap ketinggian tiga meter juga tidak diuruk-uruk sehingga melebihi ketinggian yang ditentukan. Sampah baru diuruk ketika muncul protes warga. Warga juga mencurigai lahan pembuangan sampah di TPA Bantar Gebang tidak semua dipasangi lapisan geotekstil yang berfungsi menahan air lindi agar tidak meresap ke tanah. Tuduhan itu beralasan. Karena pada kenyataannya, air tanah yang digunakan warga tercemar berat oleh air lindi. Kini nasib Cilincing pun sama. Bahkan mungkin lebih parah karena Dinas Kebersihan DKI nekat membuang sampah dengan sistem open dumping. Artinya, sampah dibuang begitu saja tanpa diolah dan tanpa membangun konstruksi pada lahan. Meski sifatnya hanya sementara, ternyata dampak yang ditimbulkannya sangat luar biasa. Pencemaran akibat air lindi di Cilincing akan terus terjadi selama ada proses pembusukan sampah. Bayangkan saja, berapa puluh tahun lagi air lindi terus keluar mengingat tumpukan sampah yang dihasilkan warga Jakarta mencapai mencapai 26.000 meter kubik per hari. Tanpa lapisan geotekstil, air lindi itu tetap akan dirasakan warga selama puluhan tahun pula. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Yunani Kartawiria mengungkapkan, untuk mengatasi dampak lingkungan di Cilincing, pihaknya sedang mengisolasi daerah-daerah yang tercemar berat oleh air lindi. Ia mengatakan, tambak-tambak yang sudah tercemar air lindi sudah tidak bisa digunakan lagi kecuali dilakukan proses rehabilitasi lahan. Koordinator Toxics Program Asia Tenggara, World Wildlife Fund for Nature (WWF) Lukas Laksono Adhyakso mengingatkan, air lindi sangat berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia, mengingat sampah di Indonesia belum terpisah antara sampah organik dan anorganik. Bahkan, di Indonesia sampah bahan beracun dan berbahaya (B3) masih dibuang sembarangan dan ikut menumpuk di TPA. Kontaminasi akibat limbah B3 ikut tersebar bersama air lindi. Pada medium air, air lindi akan meresap lebih cepat ke dalam tanah. Selain "menyerang" air tanah, air lindi juga dapat mencemari tanah lebih dalam lagi karena terbawa medium air. Mengingat dampak yang muncul sangat luar biasa, Pemprov DKI sudah saatnya meninggalkan cara-cara pembuangan sampah dengan sistem sanitary landfill apalagi open dumping. Dengan kedua cara itu, otomatis Pemprov DKi harus selalu menyediakan lahan baru untuk membuat TPA-TPA baru ketika masa pakai lahan sudah habis. Sudah banyak investor yang ingin masuk dan mengelola sampah DKI, tetapi entah kenapa selalu tidak berhasil. Jika Pemprov DKI hanya terus mengandalkan TPA, bisa-bisa gunungan sampah muncul di mana-mana dan mengancam setiap pemukiman warga. Jangan heran kalau imbauan Dinas Kebersihan DKI agar tidak membuang sampah sembarangan tidak dihiraukan warga. Instansi itu saja masih membuang sampah sembarangan. (LUSIANA INDRIASARI) Post Date : 02 Februari 2004 |