|
Bagi masyarakat kebanyakan, sampah adalah barang buangan. Selain menjadi sumber penyakit dan polusi lingkungan, sampah juga dianggap menjijikkan. Tetapi tidak demikian dengan para pemulung. Mereka jutru menganggap gunungan sampah merupakan berkah tersendiri. Paling tidak, itulah yang dirasakan para pemulung di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya. Makin banyak jenis sampah yang dibuang, mereka semakin senang lantaran penghasilannya kian meningkat. Dengan mendirikan gubuk-gubuk dari kardus seadanya, mereka selalu setia menanti datangnya puluhan truk bermuatan sampah kota. Menjelang lebaran, aktivitas mereka semakin menggila. Munarwan (34 tahun), salah seorang pemulung setempat mengakui, selama bulan Ramadhan, aktivitas para pemulung memang semakin bertambah. Menurutnya, sudah tak layak lagi masyarakat seperti dirinya bermalas-malasan. Sebab, ujar pria asal Pulau Madura ini, satu orang istri dan dua orang anak yang sekarang sudah sama-sama duduk di sekolah dasar (SD) mesti dibiayai. ''Bulan Ramadhan seperti ini bagaimana mau bermalas-malasan, istri dan anak-anak saya tidak ada yang ngasih tunjangan hari raya (THR) pada lebaran nanti. Jadi saya mesti kerja keras,'' katanya, kemarin. Dia mengakui, hasil yang diperoleh pada Ramadhan lebih banyak dibanding pada bulan biasanya. Pada bulan tersebut masyarakat lebih banyak mengonsumsi makanan dengan bebahan kemasan sampah non organik. Demikian juga dengan sejumlah peralatan rumah tangga yan terpaksa diganti pemiliknya karena menjelang lebaran. Munarwan mengungkapkan, pada bulan-bulan biasa, setiap harinya mendapat hasil tak lebih dari dua kubik sampah non organik dengan harga Rp 1.500 per kilogram. Namun pada bulan Ramadhan, hasilnya meningkat menjadi 3,5 kubik. ''Ramadhan merupakan berkah bagi kami,'' cetusnya. Hal senada juga diungkapkan Sueb (24), pemulung lainnya. Sueb mengatakan, meski masih muda dirinya sama sekali tidak sungkan menggeluti profesi sebagai pemulung sampah. Setiap hari, dirinya memperoleh hasil dari menjual sampah sekitar Rp 20-35 ribu. Dan pada bulan Ramadhan ini, Sueb mengaku harus semakin giat bekerja mengais ratusan ton sampah, demi memperoleh penghasilan. Pasalnya, kata dia, menjelang Idul Fitri semua barang menjadi mahal. Untuk itu, Sueb tidak menginginkan suatu saat kekurangan dana untuk membeli sesuatu. ''Senagaja saya kumpulkan penghasilan di bulan Ramadhan ini untuk pulang kampung,'' aku pemuda lajang asal Kota Kediri ini. Sueb menambahkan, dirinya beserta sejumlah teman sesama pemulung sama sekali tidak berfikir untuk memperoleh THR. Sebab, selain tidak terdapat pengelola resmi dari kegiatan para pemulung, para jurangan mereka yang biasa membeli hasil 'tangkapan' sampah pun rasanya tidak mungkin memberikan THR. Hal yang demikian diakui pula oleh Musaryamah (43 tahun), salah seorang pemborong sampah dari para pemulung. Menurutnya, pada musim lebaran kali ini, dirinya hanya memberikan bingkisan berupa kebutuhan bahan pokok kepada sejumlah pemulung. Itu pun, katanya, tidak semua pemulung mendapat bingkisan. Hal sama juga dilakukan Yayasan Pendidikan Al Hikmah, Surabaya. Beberapa hari lalu, pengurus yayasan tersebut juga memberikan bingkisan kepada masyarakat pemulung di wilayah Jagir, Surabaya. ''Ratusan pemulun yang ada di Surabaya memerlukan zakat bukan THR,'' kata salah seorang pengurusa yayasan. Laporan : nak Post Date : 09 November 2004 |