Ketika Mereka Harus Belajar di Sela Genangan Air

Sumber:Kompas - 09 Februari 2006
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Pekan ini, sudah dua hari berturut-turut SD Perguruan Rakyat (PR) 2 di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Selatan, direndam air.

Selasa (7/2) sekitar pukul sembilan, masih terlihat murid-murid dan para guru bahu membahu mengepel genangan air. Padahal, sehari sebelumnya ruang-ruang kelas mereka dipenuhi air banjir kiriman.

Lapangan yang mulai surut dari genangan air dan kubangan lumpur kembali kotor. Sebagian murid tampak belajar di koridor sekolah setelah sebelumnya mengangkuti bangku dari kelas mereka. Selain di koridor, ada juga yang belajar di perpustakaan sekolah.

Ya beginilah keadaan sekolah tiap banjir datang. Kegiatan belajar mengajar diselenggarakan seadanya, jelas Kepala SD Perguruan Rakyat 2, Nuryati.

Di setiap ruang kelas terlihat tumpukan buku dan perlengkapan belajar lainnya yang diamankan di atas lemari. Pemandangan yang sama juga menghiasi perpustakaan, ruang guru, dan ruang kepala sekolah.

Tapi kalau banjirnya mencapai atap, (tindakan) itu jadi sia-sia, kata Nuryati.

Salah seorang guru, Rohayati (56), mengaku prihatin setiap kali banjir melanda. Sebab banyak murid yang tidak masuk karena tempat tinggal mereka ikut kebanjiran.

Memaksa murid untuk masuk sekolah pun tidak bijak, sebab tidak ada yang tahu apakah banjir akan semakin parah atau tidak, ungkapnya.

Atasi keterbatasan

Keprihatinan Rohayati diamini oleh Mujiwati (57), guru bidang studi sains. Guru-guru harus pintar menyiasati keadaan yang terbatas tiap banjir datang. Ketiadaan papan tulis dan kapur karena terendam air membuat para guru mengajar dengan metode mencongak. Jadi kami hanya bisa mendiktekan materi pelajaran, tuturnya.

Guru yang tiap hari berangkat dari rumahnya di daerah Cibinong ini menambahkan bahwa selain mengajar, para guru juga harus membagi perhatian mengawasi para murid yang sering kali ingin bermain di genangan air atau kubangan lumpur.

Namun, kondisi ini masih lebih baik dibandingkan banjir yang melanda sebagian besar wilayah Jakarta awal 2002. Ketika itu, kegiatan belajar mengajar kadang dialihkan ke rumah salah seorang murid yang luput dari banjir, kelurahan, atau bahkan menumpang di sekolah-sekolah sekitar yang tidak tergenang air. Sering juga terjadi sekolah diliburkan ketika keadaan sudah tidak memungkinkan.

Banjir yang tiap tahunnya bisa mampir hingga lebih dari dua kali ini juga membuat keadaan fisik sekolah ringkih. Di sana-sini terlihat cat yang mengelupas atau kayu-kayu penyangga bangunan yang mulai rapuh. Bahkan jika banjir cukup parah, genting atap sekolah sering pecah karena dijadikan jembatan penyeberangan warga untuk mengungsi.

Sebenarnya ada keinginan mendandani sekolah menjadi lebih apik, tapi mau bagaimana lagi, mengurus banjir saja sudah repot, kata Nuryati.

Para murid merasakan keprihatinan yang sama. Seperti diungkap Inayah (10) dan Iin (10). Kedua siswa kelas empat ini mengaku sedih tiap kali banjir datang. Soalnya teman-teman yang datang jadi sedikit, ujar Inayah.

Iya, sekolah jadi enggak seru, ujar Iin polos.

Namun, Kania (8) punya pendapat yang berbeda. Siswa kelas dua yang hari itu mengenakan sandal ke sekolah malah senang belajar di luar kelas. Enak, banyak angin, celotehnya.

Banyak yang kebanjiran

Di DKI Jakarta yang makin banyak saja wilayah rawan banjirnya, ratusan sekolah sering terendam air mulai semata kaki hingga mencapai atap setiap kali musim hujan tiba.

Data dari Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta 2004/2005 menunjukkan, 293 buah SD negeri dan swasta setiap tahun rawan banjir. Di Jakarta Selatan tercatat 50 sekolah, 44 SD negeri dan 6 swasta.

Tiap tahun sebenarnya ada surat edaran bagi sekolah-sekolah yang rawan banjir. Pertama tentang pengamanan terhadap alat-alat belajar mengajar. Kedua, bila banjir berlangsung berkepanjangan, sudah disiapkan sekolah-sekolah lain untuk menampung siswa-siswa yang kebanjiran baik dari sekolah negeri maupun swasta.

Namun demikian, tahun ini belum ada bantuan pascabanjir dari Dikdas DKI Jakarta kepada SD PR 2. Akhirnya Nuryati pun harus putar otak untuk menutupi anggaran operasional pemulihan sekolah pascabanjir dengan dana subsidi yayasan. Padahal bantuan banyak mengalir ketika awal 2002 banjir merendam SD PR 2 hingga atap. Kala itu beberapa lembaga sosial dan pendidikan membantu alat kebersihan hingga mesin ketik.

Dituturkan Nuryati, medio November 2005 lalu Komisi E DPR RI datang meninjau SD Perguruan Rakyat 2. Para wakil rakyat saat itu menjanjikan renovasi dan atau pemindahan lokasi bagi sekolah korban banjir.

Tapi sampai sekarang saya belum mendengar kabar tentang janji itu lagi, katanya.

Nuryati menambahkan bahwa setiap kali banjir datang, ia melaporkan keadaan sekolah ke Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Selatan yang selanjutnya diteruskan ke Dikdas DKI Jakarta. Ia berharap Dikdas segera menurunkan bantuan untuk menangani masalah banjir yang sudah menjadi langganan sekolahnya tiap tahun.

Jika ada prosedur tertentu yang harus saya jalani, akan saya lakukan. Sebab saya bertanggung jawab atas semua keadaan sekolah ini, tegasnya. (*)

Post Date : 09 Februari 2006