|
Direktur Utama Perusahaan Umum Jasa Tirta II Djendam Gurusinga pada 25 Oktober 2005 mengirim surat balasan kepada Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta Didit Haryadi. Isinya, Jasa Tirta tidak dapat menjamin permintaan tentang ketersediaan air baku untuk air minum DKI sepanjang tahun dari Bendungan Jatiluhur. Perum Jasa Tirta II merupakan badan usaha milik negara (BUMN). BUMN ini menangani pemanfaatan air dari Bendungan Juanda atau lebih dikenal sebagai Bendungan Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) DKI merupakan salah satu penerima manfaat air dari Bendungan Jatiluhur untuk air baku yang kemudian diolah menjadi air minum. Alasan Djendam dalam surat balasan tadi, dikemukakan bahwa kondisi Saluran Induk Tarum Barat telah mengalami degradasi meskipun Neraca Penyediaan Air Baku 2005/2006 sendiri sebenarnya mencukupi. Faktor degradasi atau penurunan kualitas lingkungan Tarum Barat sepanjang 52,780 kilometer memang berat. Daerah rawan longsor di sekitarnya sedikitnya terdapat 31 lokasi. Ancaman longsor itu mengancam 17 bendungan serta 14 tanggul Tarum Barat yang terbentang dari Curug, Purwakarta, hingga Bekasi. Keprihatinan itu belum terhenti karena masih ada masalah pencemaran air. Terhitung antara Kali Bekasi dan Ciliwung (Kali Malang) sepanjang 14,5 kilometer kian terkontaminasi limbah permukiman. Sebelumnya, limbah juga masuk Tarum Barat akibat interkoneksi dengan Kali Cibeet, Cikarang, dan Bekasi. Balasan singkat melalui surat Djendam menjadi masuk akal. Jasa Tirta tidak dapat menjamin ketersediaan sepanjang tahun penyaluran air baku untuk air minum DKI. Didit Haryadi sebelumnya menyampaikan, permintaan air baku untuk air minum DKI sepanjang tahun 2006 sebesar 16,4 meter kubik per detik atau setara dengan sekitar 517.190.400 meter kubik. Air baku dari Jasa Tirta yang dikelola dari Bendungan Jatiluhur setiba di DKI didistribusikan ke Instalasi Pengolahan Air (IPA) Pejompongan I dan II (6,2 meter kubik per detik atau 195.523.200 meter kubik per tahun), IPA Pulo Gadung (4,6 meter kubik per detik atau 145.065.600 meter kubik per tahun), dan IPA Buaran I dan II (5,6 meter kubik per detik atau 176.601.600 meter kubik per tahun). Dalam realisasi tahun-tahun sebelumnya, sesuai dengan data Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI, dari permintaan 16,1 meter kubik per detik tercatat realisasinya berkisar 12-14,5 meter kubik per detik. Kini surat balasan Djendam itu mengisyaratkan DKI tidak selamanya harus menggantungkan diri terhadap kebutuhan air baku dari Bendungan Jatiluhur. Melimpah Neraca Penyediaan Air Baku dari Bendungan Jatiluhur, seperti dikatakan Djendam, saat ini memang mampu mencukupi berbagai kebutuhan, termasuk air baku PDAM DKI. Saat Kompas mengunjungi Bendungan Jatiluhur, Kamis (12/1) lalu, terasa benar ketersediaan air baku sangat melimpah. Di menara pusat listrik tenaga air terlihat arus deras di dasar bangunan kubahnya. Salah satu petugas Jasa Tirta yang menemani saat itu mengatakan, arus deras di dasar kubah menunjukkan semua generator (ada enam unit) berputar. Arus air Bendungan Jatiluhur memang digunakan untuk menggerakkan generator sebagai pembangkit tenaga listrik dengan kemampuan hasil 800 juta hingga satu miliar kilowatt jam (kWh). Kepala Bagian Pengelolaan Pemanfaat Air dan Sumber Air (PPASA) Jasa Tirta II Abu Syukur menyampaikan, data debit air Bendungan Jatiluhur saat itu mencapai 218,53 meter kubik per detik. Sungguh terbayang betapa melimpahnya air dari Bendungan Jatiluhur ini. Kebutuhan air baku 16,4 meter kubik per detik dari ketersediaan 218,53 meter kubik per detik untuk PDAM DKI bukanlah suatu masalah untuk dipenuhi. Tetapi, seperti dikatakan Djendam, sepanjang tahun 2006 tak dapat dijamin kelangsungannya akibat degradasi lingkungan di sepanjang Tarum Barat. Padahal, berdasarkan perhitungan hingga tahun 2025, kebutuhan air baku DKI diperkirakan mencapai 40 meter kubik per detik. Debit 218,53 meter kubik per detik dari Bendungan Jatiluhur dialirkan ke Saluran Tarum Barat, Saluran Tarum Utara, dan Saluran Tarum Timur dengan lokasi pengendalian di Bendungan Curug, Purwakarta, sekitar delapan kilometer dari pintu air Bendungan Jatiluhur. Data PPASA Jasa Tirta II saat itu menunjukkan, Tarum Barat mendapat pasokan dari Bendungan Curug 25,43 meter kubik per detik ditambah dengan sumber setempat 35,91 meter kubik per detik menjadi 61,34 meter kubik per detik. Jumlah ini di bawah kebutuhan yang diperkirakan, 63,68 meter kubik per detik, setibanya di DKI diharapkan mencapai 16,4 meter kubik per detik untuk pasokan instalasi pengolahan air minum. Selebihnya, air Bendungan Jatiluhur dialirkan ke Tarum Utara dan Tarum Timur untuk kebutuhan irigasi lumbungan pangan nasional di daerah Karawang, terutama untuk produksi tanaman padi. Kerja sama asing Di tengah krisis air baku dari Bendungan Jatiluhur yang sebenarnya masih melimpah itu, DKI kini juga dihadapkan pada kemelut pengolahan air minum dari dua mitra swasta PDAM. PDAM DKI sejak tahun 1998 mengikatkan diri dalam Perjanjian Kerja Sama dengan dua mitra swasta dari Lyonnaise des Eaux (LDE/Perancis) dan Thames Water International (TWI/ Inggris). Perjanjian kerja sama itu untuk 25 tahun (1998-2022). LDE kemudian membentuk perusahaan operator penyediaan dan pengembangan air minum PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). TWI membentuk PT Thames PAM Jaya (TPJ). Kewenangan distribusi air olahan atau air minum Palyja berada di Jakarta sebelah barat Ciliwung, sedangkan TPJ di Jakarta sebelah timur Ciliwung. Melalui legalitas DPRD dan Gubernur DKI pada tahun 2004, dua mitra swasta memperoleh kewenangan penyesuaian tarif otomatis per semester dari tahun 2005-2007. Legalitas ini direngkuh akibat masing-masing mitra swasta berdalih masih mengalami kerugian per bulan mencapai 1,5 juta dollar AS dalam mengolah dan mendistribusikan air minum sejak tahun 1998-2004. Defisit pun timbul. Tetapi, sesuai dengan perjanjian kerja sama akibat defisit itu, PDAM harus menanggungnya. Lebih pasti lagi, pelanggan air minum DKI-lah yang harus menanggung semua beban itu.NAWA TUNGGAL Post Date : 01 Februari 2006 |