|
Selasa (24/7) pukul 18.00, Fauzan (42) melewati Jembatan Kuto Panjang, di Kelurahan Limau Manis, Padang, Sumatera Barat. Kala itu, ia melihat permukaan Sungai Kuranji sudah naik 2 meter dan hampir menyentuh badan jembatan. Ia tidak terlalu menghiraukan karena permukaan air sungai itu kerap naik antara Juni dan Juli. ”Rupanya banjir kemarin lain dari yang sebelumnya. Kalau terlambat pulang dari kebun, mungkin ikut hanyut bersama jembatan,” ujarnya, Kamis (26/7) Penyeberangan pada Selasa petang itu adalah penyeberangan terakhir Fauzan di Jembatan Kuto Panjang. Sekitar 30 menit setelah ia lewat, badan jembatan diterjang air yang menghanyutkan ribuan kubik pasir dan batu serta kayu-kayu besar. Badan jembatan hancur, hanya tersisa fondasi dan sebagian bentang tengah saja. Hari itu, Fauzan bersama warga di sisi timur Padang kembali mendengar kosakata yang lama tidak terucap: lidah air dan galodo. Dua kata itu sudah lama dikenal orang Minang dalam hikayat mereka. ”Ada hikayat, kalau sudah gabag dahulu, jangan main di sungai,” ujarnya. Hikayat itu mengajarkan orang Minang mengenal bahaya yang bisa ditimbulkan oleh air. Bila akan hujan deras di bagian hulu, masyarakat diajarkan segera menjauhi sungai. Sebab, banjir bisa datang tiba-tiba. ”Orang Minang menyebutnya lidah air atau banjir yang datang tiba-tiba,” ujarnya. Warga setempat juga mengenal kata galodo untuk menggambarkan tanah longsor. Ribuan kubik batu dan lumpur serta ratusan batang pohon yang hanyut dipandang sebagai galodo. ”Sudah lama tidak ada galodo, walau kami tahu sewaktu-waktu daerah ini akan terkena jilatan lidah air dan galodo,” ujarnya. Jilatan itu merusak 534 rumah dan enam jembatan. Empat bendungan di sisi timur Padang juga rusak. Banjir menerjang 20 kelurahan di Kecamatan Pauh, Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan, Kuranji, dan Nanggalo. Kecamatan-kecamatan itu dilalui Sungai Kuranji dan Sungai Gunung Nago yang luapannya membawa ribuan kubik batu dan lumpur serta batang pohon besar. Ratusan orang sempat mengungsi pada Selasa malam. Sisanya masih bertahan di pengungsian hingga Kamis. Sebab, rumah mereka rusak berat atau masih diendapi lumpur setinggi 30 sentimeter. ”Belum habis minum segelas, saya sudah diajak lari. Belum hilang haus setelah puasa sehari, sudah harus haus-haus lagi,” ujar Jusniar (62), warga Bandar Gadang. Jusniar adalah salah seorang warga yang tidur di tenda pengungsian hingga Kamis sore. Tidak ada pilihan karena rumahnya masih diendapi lumpur. Nenek itu tinggal di salah satu tenda yang didirikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tenda didirikan 30 meter dari rumahnya. Namun, lokasi tenda lebih tinggi 2 meter dibandingkan rumahnya. Sementara Diki (25), warga Kuranji, mengatakan, banjir bandang terakhir yang diingatnya terjadi tahun 2005. Kala itu, ia melihat dua ruangan kelas di SMA 9 Padang hanyut terbawa luapan Sungai Kuranji. Setelah bertahun-tahun, mahasiswa Universitas Andalas itu kembali menyaksikan banjir bandang di sisi timur Padang. ”Sudah sering orang mengira kapan banjir akan datang lagi. Bukan kami mengharapkan bencana,” ujarnya. Sudah bertahun-tahun warga mendengar cerita penebangan ilegal di sekitar hulu Sungai Kuranji. Mereka kerap mendengar suara gergaji mesin dari bukit yang menjadi hulu sungai. ”Saya pernah bekerja dengan salah satu bos penggergajian. Tugas saya menghanyutkan kayu dari hulu ke arah penggergajian di bawah bukit,” ungkapnya. Kini, para korban banjir membutuhkan pasokan air bersih. Kebutuhan itu menyusul tercemarnya sumur warga oleh air bercampur lumpur dan material lain sejak Selasa malam. Dewi Mulyati (34), salah seorang korban galodo di kawasan Batu Busuak, Kelurahan Kapalo Koto, Kecamatan Pauh, Kota Padang, mengatakan, air bersih menjadi kebutuhan paling penting saat ini. ”Sementara ini untuk minum kami mengandalkan bantuan air bersih dalam kemasan yang diberikan orang-orang yang datang memberikan sumbangan,” katanya. (RAZ/INK) Post Date : 27 Juli 2012 |