|
DI Jakarta, kentut doang yang enggak bayar," kata Rodiah (40), warga Kramat Pulo Gang V, Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Tanpa mencoba membungkusnya dengan kalimat yang lebih halus, ia ungkapkan penilaiannya mengenai betapa berat beban hidup di ibu kota negara ini. Semua seakan diukur dengan uang. Kalimat spontan itu keluar ketika perempuan kurus tersebut berbicara soal air bersih yang tidak lagi mudah diperoleh, khususnya di kota megapolitan seperti Jakarta. Sebelum berlangganan air PDAM sejak tahun 2003, Rodiah membeli air bersih Rp 500 per ember, hanya untuk memasak. Untuk mandi, mencuci, dan keperluan nonmemasak, ia memilih menggunakan air sumur. Air PDAM itu pun tidak langsung untuk memasak, tetapi diendapkan minimal semalam. Kalau tidak, katanya, berbau kaporit. Menurut Rodiah, awalnya ia hanya bermaksud menanyakan tarif pemasangan pipa jaringan ke rumahnya. Seperti tak ingin kehilangan mangsa, esok paginya, petugas PDAM nongol ke rumahnya. Dengan alasan rumah ada di perkampungan sesak penduduk, Rodiah pun harus bersedia menambah uang ekstra pemasangan pipa jaringan hingga Rp 400.000. "Enggak apalah, pokoknya langsung ngocor aja," kata dia. Kini meski sudah punya air bersih sendiri, keluarga Rodiah memilih berhemat dengan memanfaatkannya untuk memasak saja. Mandi, cuci, dan lainnya tetap menggunakan air sumur, seperti dulu. "Kalau enggak, bisa boros, kan," katanya sambil tertawa. Setiap bulan, rata-rata ia membayar rekening air Rp 20.000. Tetangganya, Deden, yang berdiri tidak jauh darinya memilih tidak berlangganan air PDAM. "Enggak ada duit," ujarnya. Ia tidak punya pilihan selain tetap menggunakan air sumur, meskipun keruh ketika musim hujan dan debit mengecil saat kemarau. Setidaknya, dua hari sekali ia harus membeli seember air seharga Rp 500 untuk memasak. Sementara itu, pemilik hidran umum di kawasan Kramat Pulo, Yani (35), mengaku menjual 12 jeriken air (per jeriken sekitar 20 liter) seharga Rp 700. Sehari, rata-rata penjual air keliling membeli darinya 12 kali. Dalam sebulan, rata-rata Yani membayar tagihan air Rp 100.000. Masih ada untung. Di tingkat pengecer, per jeriken air dijual Rp 700-Rp 1.500. Bahkan, di Rawamangun, Jakarta Timur, Rp 2.000. "Mau enggak mau kami harus beli air bersih untuk memasak," kata Suparno, warga Balap Sepeda Gang X, Rawamangun. Kini, dari 12 keluarga, tinggal satu keluarga yang masih setia dengan pompa air. Sisanya, pasang pipa jaringan PDAM. Seperti di Kramat Pulo, pemasangan pipa jaringan bertarif Rp 400.000 per keluarga. KEMUDAHAN dan kemampuan warga negara kelas apa pun untuk mengakses air bersih sudah seharusnya dipenuhi negara. Artinya, pengelolaan sumber daya air yang terorganisir dan terkontrol dengan komitmen berpihak kepada masyarakat umum menjadi kemutlakan. Dalam kaitan itu, keberadaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA) menjadi sangat penting. Semangatnya, air terakses bagi semua golongan. Sanksi terhadap aktivitas menghancurkan sumber-sumber air harus diatur jelas dan tegas. Sayangnya, berdasarkan pengamatan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), penyusunan RUU SDA cenderung menyokong komersialisasi dan privatisasi air. Air dianggap komoditas ekonomis dengan diakomodasinya hak guna usaha dan hak pakai air. Hak guna usaha memberi peluang perorangan atau badan usaha swasta untuk mengelola air dengan izin pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Ujung-ujungnya, petani di pedesaan dan rakyat miskin di perkotaan makin terpinggirkan karena tak punya uang. Menurut Raja Siregar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), privatisasi-dalam sejarahnya-selalu berorientasi keuntungan. Apa jadinya bila seluruh aset seperti PDAM jatuh ke tangan swasta, lokal atau asing. Tarif air di Manila, Filipina, yang semula sebesar 8,78 peso (setara Rp 1.750) per meter kubik naik menjadi sekitar Rp 3.100 setelah privatisasi yang diarsiteki Bank Dunia melalui International Finance Corporation (IFC)-nya. Kenaikan diterima pelanggan karena janji- janji mutu pelayanan meningkat, selain bosan dengan kinerja birokrasi pemerintah. Di kemudian hari janji tinggalah janji, tarif terus naik setiap tahun dan sebagian warga di pelosok pun belum juga mengakses air. Menurut studi Freedom from Debt Coalition (FDC) Filipina, sejak privatisasi, mutu pelayanan jalan di tempat. Tahun 1997-2001, tingkat kehilangan air terus meningkat dari 45,2 persen menjadi 48,3 persen. PRIVATISASI air di Filipina hanya satu contoh risiko yang bisa muncul. Di Jakarta, kini 95 persen saham PDAM Jakarta sudah dikuasai Thames Water (Inggris) dan Suez-Lyonnaise (Perancis). Lazimnya korporasi, pertanggungjawaban tertuju pada pemilik modal, bukan publik. Keuangan perusahaan goyah, langkah paling mudah terpikir adalah menaikkan tarif. Bahkan, bisa jadi hingga 500 persen, seperti yang pernah terjadi di Filipina. Pertanyaannya, apa jaminan privatisasi pasti berbuah manis daripada sebutir pil pahit yang harus dikunyah atau ditelan? Apalagi tanpa perangkat hukum yang benar-benar siap ditegakkan. Akhir terburuk drama privatisasi air; akses air rakyat dan petani kecil putus! Penguasaan SDA oleh seseorang atau sekelompok orang bernafsu profit, pada gilirannya membuat air menemukan nilai pasarnya. Dampaknya, nilai sosial air terkalahkan dengan uang. Apa jadinya bila untuk irigasi pun petani harus membelinya. Padahal, harga beras dan gabah tak pernah naik. Lebih buruk lagi bila petani meninggalkan pertanian beras yang berdampak pada ketahanan pangan. Dengan kondisi seperti saat ini saja, akses air tak seluruhnya dapat dinikmati dengan mudah. Apalagi di kota seperti Jakarta. Kini, seperti kata Rodiah, hanya kentut doang yang tidak membayar di Jakarta. Jangan-jangan, segera menular ke seluruh Nusantara. Atau, adakah yang berani menjamin itu tak akan menular? (GESIT ARIYANTO) Post Date : 16 Februari 2004 |