|
Pada bulan November hujan biasanya mulai mengguyur berbagai kawasan di Provinsi Jambi, hingga puncaknya terjadi pada Januari. Sejak awal Desember Sungai Batanghari biasanya juga sudah banjir, dengan puncaknya pada awal Januari pula. Akan tetapi berbeda dari biasanya, pada tahun 2006 ini terjadi pergeseran. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi baru terjadi awal Januari. Berdasarkan pemantauan citra satelit dan pengamatan synoptik, awal Januari 2006 Jambi baru masuk musim hujan. Sampai dengan 27 Januari 2006, intensitas curah hujan masih tinggi. Puncak musim hujan diperkirakan terjadi tanggal 20-30 Maret nanti, ujar Kepala Stasiun Meteorologi Bandara Sulthan Thaha, Jambi, RL Tobing, menjawab Kompas, Selasa (17/1). Ketinggian permukaan air Sungai Batanghari di Kota Jambi, Selasa kemarin, masih sekitar 13 meter di atas permukaan laut (dpl) atau masih sekitar satu meter lebih rendah dari ketinggian rata-rata tahunan. Sebagai perbandingan, saat banjir besar pada 2003 dan Januari 2004, peralatan otomatis pencatat ketinggian air (automatic water level recorder/AWLR) di Sungai Batanghari sempat mencapai ketinggian 15,15 meter dpl atau 1,5 meter lebih tingi dari batas bahaya. Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin pun mengingatkan warganya. Sehubungan dengan masuknya musim hujan, penduduk Jambi yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, tepian sungai, serta tempat-tempat yang rawan longsor agar waspada dan ekstra hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam. Zulkifli pun meminta kepada para bupati agar mengaktifkan Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) Penanggulangan Bencana Alam (PBA). Sejak masa penjajahan Belanda dulu bahkan sebelumnya, kantong-kantong permukiman penduduk di Jambi berada di pinggir sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil. Mereka tinggal di rumah panggung yang bebas dari banjir rutin, pintar berenang, dan mahir menggunakan perahu. Satu-satunya sarana transportasi untuk mobilitas penduduk ketika itu hanyalah melalui sungai. Pergeseran pola permukiman baru terjadi semenjak masa Orde Baru pada pertengahan 1960-an, ketika pemerintah mulai membangun jalan, proyek pemukiman transmigrasi, dan pengkaplingan hutan berupa pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sebagian juga memanfaatkan sungai. Jalan yang dibuka perusahaan HPH di banyak lokasi diikuti oleh perladangan, perambahan, dan pemukiman liar yang dari waktu ke waktu terus membesar menjadi dusun kemudian desa. Desa-desa baru dan kawasan permukiman transmigrasi ini pun tidak lepas dari ancaman banjir tahunan. Bagi sebagian warga Jambi yang tinggal di tepian atau DAS Batanghari dan anak-anak sungainya, banjir yang terjadi setiap tahun sudah menjadi masalah biasa. Kondisi itu tentu berbeda dengan penduduk baru, seperti pendatang atau perkembangan keluarga yang tidak terbiasa dengan banjir rutin tersebut. Penduduk Desa Mekar Sari, Kecamatan Kumpeh Hilir, Kabupaten Muaro Jambi, misalnya, yang merupakan transmigran dari Pulau Jawa. Bagi mereka, banjir adalah musibah bencana alam. Kerusakan lingkungan pun dari tahun ke tahun semakin parah. (h nasrul thahar) Post Date : 18 Januari 2006 |