|
Jika zaman dahulu di daerah Jawa Tengah kita mudah menemukan kendi berisi air minum di pagar setiap rumah, kini kendi-kendi itu menghilang. Musafir pun kini tidak lagi perlu mencari kendi, sudah ada air mineral botolan yang dijual di warung-warung. Demikian Pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata, Wijanto Hadipuro, menggambarkan bagaimana air kini menjadi sangat mahal. Air yang dahulu membentuk solidaritas antarmanusia, kini ramai-ramai diprivatisasi. "Ketika pemerintah tidak dapat mengelola air, pemerintah memilih menyerahkannya kepada swasta, demi mendapatkan keuntungan. Bandingkan dengan membiarkan masyarakat mengakses air secara gratis, pemerintah tidak akan dapat apa-apa," ujar Wijanto dalam Refleksi Hari Air Sedunia di halaman Kantor PDAM Kudus, Selasa (30/3) malam. Refleksi yang bertema "Ngaji Banyu: Menimba Air Kehidupan" itu menghadirkan pelaku serta pakar-pakar lingkungan. Hadir dalam refleksi berbentuk unjuk bincang itu Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang Sudharto P Hadi, Rektor Unika Soegijapranata Semarang Budi Widianarko, pakar Ekoreligi Institut Agama Islam Negeri Walisongo Mujiono Abdillah, serta budayawan Prie GS. Ada pula Gunretno, tokoh dari komunitas Sedulur Sikep di Pegunungan Kendeng, Wijanarko dari Muria Research Centre, serta Handoyo dari PT Djarum. Pergeseran budaya ini menurut Wijanto sangat memprihatinkan. Namun, karena sistem itu telah terbentuk, akhirnya dianggap sebagai suatu kebenaran. Wijanarko menceritakan pengalamannya ketika meneliti di kawasan Colo, Kudus. Sebagian besar warga masih menggunakan air dengan sistem komunitas. Namun, ada juga orang yang datang dan mengambil air di mata air untuk dijual. Kenyataan semacam itu merupakan contoh kecil. Bandingkan dengan banyaknya perusahaan air minum yang mengambil air dari mata air dan menjualnya. Atau, PDAM yang sebagian masih mengambil air dari mata air untuk dijual ke masyarakat. "Air bukan lagi milik kita semua," tutur Wijanarko. Itulah yang menjadi kekhawatiran Gunretno jika Pegunungan Kendeng dijadikan lokasi penambangan. Pegunungan Kendeng menyimpan sumber daya air melimpah. Tidak ada lahan yang tidak bisa ditanami. "Kami baru saja menanam 1.000 pohon kepoh. Mengapa kami memilih pohon kepoh? Pohon kepoh kami lihat ada di setiap mata air. Ternyata, pohon dengan diameter 10 sentimeter saja dapat menahan 40 liter air dalam satu kali 24 jam. Ketika pohon itu mati, kami melihat jumlah air di mata air juga berkurang," katanya. Kearifan lokal seperti itu semakin terpinggirkan. Prie GS menyebut fenomena itu sebagai paradoks yang tengah dialami bangsa ini. Masyarakat yang sangat mengerti lingkungannya dianggap tidak tahu apa-apa oleh pemerintah. Para pembahas sepakat, tantangan manusia ke depan adalah mengembalikan kondisi alam yang rusak. Penghijauan mutlak dilakukan untuk melindungi air tanah. Sayangnya, selama ini penghijauan kerap diadakan sebatas seremonial. Akibatnya, dampaknya tidak begitu terasa, bencana tetap terjadi. Direktur PDAM Kudus Hasan Aoni Aziz, mengakui PDAM masih mengambil sumber air dari beberapa mata air untuk kembali dialirkan kepada masyarakat. Ke depan, PDAM harus mencari sumber air lain yang tidak merusak lingkungan. (Amanda Putri) Post Date : 01 April 2010 |