|
DANAU Ayamaru terletak di Distrik Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan, 216 kilometer arah barat Kota Sorong. Sejak dulu danau itu menjadi pusat transportasi, wisata, dan sumber penghidupan bagi masyarakat setempat. Tetapi fungsi tersebut hilang dalam beberapa tahun terakhir ini karena air danau menyurut hingga 50 meter, dan bahkan sebagian telah mengering. Sebagian areal danau sudah menjadi rawa dan ditumbuhi rumput-rumput. Kepala Distrik Ayamaru Ny Petrosina Solossa awal Januari silam mengatakan, Papua memiliki lebih dari 200 danau (kecil dan besar), seperti Danau Paniai, Tigi, Sentani, Yamur, dan Rombebai. Sebagian besar belum diberi nama. Danau-danau tersebut memiliki fungsi strategis bagi masyarakat tradisional. Danau Ayamaru sudah dikenal sejak zaman Belanda. Ada tiga danau yang merupakan satu kesatuan, yaitu Yahu (bagian atas), Yate (bawah), dan Ikri (penampung air dari sungai). Danau tersebut dimanfaatkan untuk berekreasi. Ada upaya Belanda membangun sistem pengairan dengan menggunakan air danau itu, tetapi konstelasi politik (1962) saat proses integrasi Papua ke RI, rencana tersebut dihentikan. Sebetulnya secara tradisional danau itu digunakan sebagai lalu lintas penduduk, misalnya dari kawasan danau menuju Teminabuan dan selanjutnya ke Sorong. Ny Petrosina menjelaskan, ketika itu keberadaan danau Ayamaru sangat membantu masyarakat karena belum ada transportasi darat dan udara yang menghubungkan daerah pedalaman Sorong dengan Kota Sorong. Tetapi kini danau itu telah mengering. Menurut Petrosina, mengeringnya ketiga danau ini antara lain akibat penebangan hutan di sekitar danau, pengeboran minyak dan gas bumi di bagian lereng gunung Ayamaru, serta tumbuhnya sejenis rumput asing dan pemanasan global. "Ketiga danau ini merupakan satu kesatuan yang disebut danau Ayamaru. Pada zaman dulu, danau ini sebagai sumber hidup satu-satunya bagi masyarakat di sekitar Ayamaru. Ada berbagai jenis ikan di danau ini seperti mas, betik, satar, salamande, udang (jenis udang merah, udang kuning dan biru), gabus, dan ikan lele. Dulu danau ini juga sebagai sarana transportasi andalan bagi kampung-kampung di Distrik Ayamaru, Distrik Aitinyo, dan Distrik Aifak sampai ke Distrik Teminabuan, yang saat ini menjadi ibu kota Kabupaten Sorong Selatan," kata Ny Petrosina. Bekas air danau yang kering telah ditumbuhi rumput, dan sebagian daerah menjadi rawa. Hanya ditemukan genangan air dengan panjang sekitar 200 meter per danau dan lebar 100 meter di pusat danau dengan debit air yang sangat sedikit. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua (1999- 2004) asal Ayamaru, Salmon Kambuaya, mengatakan bahwa pada tahun 2003 tim DPRD Provinsi bersama sejumlah teknisi dari Dinas Pekerjaan Umum meninjau danau itu. Rencana awal, akan dibangun pusat listrik tenaga air di daerah itu untuk menyuplai kebutuhan listrik. Tetapi tim DPRD itu sangat kaget ketika melihat air danau terus menyusut dan terdapat rumput asing. Diduga datangnya tumbuhan asing ini bersamaan dengan kehadiran burung pelikan dari Australia. Burung itu memiliki kantung makanan dengan berat sampai tiga kilogram, dan sering mengeluarkan makanan (biji-bijian) yang ada di dalam temboloknya. Tumbuhan ini sejenis alang-alang sungai yang sangat sulit dibasmi. Jika dicabut sangat keras, dan akarnya dapat menumbuhkan pohon baru. "Tumbuhan ini tidak hanya memenuhi air danau, tetapi juga menghalangi masyarakat untuk berlayar," tutur Kambuaya. MASYARAKAT Ayamaru memiliki sejumlah kearifan lokal terkait dengan kehadiran danau itu. Mereka yakin arwah nenek moyang mereka menghuni danau ini, dan memberi sumber hidup bagi turunannya berupa sejumlah ikan yang hidup di dalam danau. Karena itu, sebelum berlayar di danau untuk mencari ikan atau bepergian ke kampung lain, mereka harus permisi kepada arwah nenek moyang. Hasil panen ikan dan udang di danau itu yang begitu banyak terjadi tahun 1990-1996, diyakini sebagai pemberian arwah nenek moyang. Ketika arwah nenek moyang merasa diperhatikan, mereka pun akan memberi hasil melimpah kepada penduduk setempat. Produksi udang dan ikan oleh masyarakat setempat, yang disponsori PT Tuna Caraka, diekspor ke sejumlah negara seperti Jepang, Korea, dan Australia. Ekspor tertinggi terjadi tahun 1996 dengan jumlah 150 ton dari ketiga danau. Danau itu merupakan warisan nenek moyang bagi suku besar Maybrat dengan 12 marga di dalamnya, misalnya marga Solossa, Jitmau, Kambuaya, Lemauk, dan Howae. Semua marga wajib menjaga kelestarian danau itu dengan tidak menebangi pohon-pohon di sekitarnya. Menebang pohon sama dengan menggunduli rambut dan mencukur bulu nenek moyang yang mendiami daerah itu. Tanah diyakini sebagai tubuh nenek moyang, pohon-pohon sebagai rambut dan penghias keindahan nenek moyang, sedangkan danau sebagai rezeki yang dilimpahkan nenek moyang kepada turunannya. Ny Luisa Nauw, warga setempat, menyebutkan, sebelum air danau berkurang ia biasa mencuci di pinggir danau. Anak-anak pun sering bermain, berenang di pinggir danau. Tetapi setelah mengering dan berubah jadi rawa-rawa, dia tak pernah mencuci lagi. Masyarakat akhirnya mencuci dan mengambil air bersih di Sungai Biru. Disebut sungai biru karena dasar air berwarna biru. KEBERADAAN danau ini tidak terlepas dari mitos mengenai lahirnya kain tenun ikat yang oleh masyarakat suku Maybrat disebut kain timor. Kain timor sebagai pemberian arwah nenek moyang kepada turunannya yang mendiami danau itu. Kain itu muncul begitu saja di sekitar danau, menyerupai daun-daun, bergantungan di pohon- pohon. Kehadiran kain ini diprioritaskan bagi setiap kepala suku yang memiliki wibawa, penghormatan dan nama baik di kalangan masyarakat. Tetapi sebutan kain timor ini meragukan kebenaran mitos tersebut. Jika kain tenun ikat itu hadiah dari nenek moyang suku Maybrat, mengapa harus disebut kain timor dari awal munculnya, tahun 1700-an sampai hari ini. Pendapat lain menyebutkan, kain timor yang saat ini dijadikan maskawin dan barang berharga di kalangan masyarakat Maybrat berasal dari Timor. Kain tersebut dibawa oleh para misionaris Portugis atau Belanda yang saat itu berada di Flores dan Timor. Mereka datang ke daerah Kepala Burung untuk menyebarkan agama Kristen, membawa serta kain timor itu. Ketika itu masyarakat di daerah Kepala Burung ditemukan dalam keadaan telanjang, mengenakan kulit kayu sehingga para petugas agama memperkenalkan kain tersebut. (KORNELIS KEWA AMA) Post Date : 26 Januari 2005 |