|
Jakarta, Kompas - Ketersediaan air bersih di tengah krisis kualitas air-akibat perilaku buruk manusia yang menyebabkan kemerosotan fungsi lingkungan-sepatutnya menjadi komitmen bersama. Bila tidak, air justru akan mendatangkan bencana bagi manusia. "Nyatanya, swastanisasi air kini sudah terjadi. Yang penting, kita semua sepakat bahwa air memang harus diatur dengan tidak meminggirkan masyarakat mana pun," kata Direktur Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Basuki Yusuf Iskandar, dalam seminar dan peluncuran buku "Transformasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air dan Katalog Sungai Indonesia Jilid I" yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Senin (29/3). Sebagai salah seorang yang turut membidani lahirnya Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA), Basuki menegaskan, tidak ada niat sedikit pun dari UU ini untuk meminggirkan masyarakat kelas tertentu. Justru UU SDA memberi peluang bagi masyarakat untuk menjaga hak-haknya memperoleh akses terhadap air. "Di sana diatur tentang adanya konsultasi publik, nilai kelebihan air, dan upaya konservasi. Tata nilai adat dalam soal air juga akan diadopsi. Artinya, nilai sosial air menjadi utama, selain nilai ekonomis," ujarnya. Oleh karena itu, tambahnya, keterlibatan banyak pihak dalam pengelolaan air justru diharapkan. Kelompok-kelompok masyarakat sebaiknya aktif mengelola sumber daya air untuk melindungi kepentingan bersama. Mantan Kepala Pusat Limnologi LIPI PE Hehanuss, yang juga terlibat dalam penyusunan UU SDA, mengatakan bahwa pasal per pasal dalam UU tersebut barangkali memang belum sempurna. Kekurangan itu akan diakomodasi dalam peraturan pemerintah (PP) dan keputusan menteri (Kepmen). "Amandemen terhadap UU SDA mungkin saja dilakukan, tapi tidak sekarang. Sekarang, berikan masukan kepada tim penyusun PP," kata dia. Hal yang sama diungkapkan Basuki. Ketentuan yang belum diatur dalam UU SDA, katanya, akan diarahkan dan dibetulkan dalam PP yang kini sedang dalam penyusunan. Terkait dengan kekhawatiran yang muncul mengenai swastanisasi air, Basuki menunjuk pada persoalan komunikasi antarlembaga yang lemah. "Semangat dan niat yang sebenarnya sama menjadi bias, lebih disebabkan sistem komunikasinya yang tidak komunikatif," ujarnya. Dalam kesempatan tersebut, Nadya Hadad dari INFID yang juga anggota Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha) menyatakan, setelah berdialog, ditemukan kesamaan persepsi tentang pengelolaan air. "Sebenarnya ada beberapa kesamaan visi bahwa air harus terakses untuk semua. Yang penting, bagaimana kesepahaman tersebut bisa diaplikasikan dengan benar," kata dia. (GSA) Post Date : 30 Maret 2004 |