|
Jakarta, Kompas - Kementerian Negara Lingkungan Hidup menilai ketersediaan air bersih patut menjadi program prioritas adaptasi perubahan iklim. Di bidang mitigasi, salah satunya mengubah berbagai limbah menjadi sumber energi. Beberapa prioritas tersebut telah disampaikan kepada Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Bersama program lain dari setiap departemen, usulan tersebut akan disampaikan kepada Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Untuk air, setidaknya ada sebelas daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi prioritas penanganan. ”Ketersediaan air bersih sangat penting dijaga,” kata Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Masnellyarti Hilman di Jakarta, Selasa (13/1). Berbagai penelitian internasional menyebutkan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim berdampak antara lain pada ketersediaan air, selain ketahanan pangan. Air disebut sebagai ”emas biru” yang berpotensi menjadi sumber konflik lokal bahkan global. Di beberapa wilayah Indonesia, ketersediaan air telah menjadi persoalan. Persoalan itu di antaranya peruntukan air yang jumlahnya terbatas bagi pertanian, rumah tangga, ketersediaan energi, atau industri. Krisis air, kata Masnellyarti, dipastikan berdampak pada suplai pangan dan energi seiring dengan keterbatasan suplai pembangkit listrik. Keterbatasan akses pangan dan energi potensial memicu konflik yang berujung krisis sosial. Sayangnya, ketersediaan air bersih dalam skala besar di Indonesia terus tertekan karena pencemaran, minimnya serapan air, dan kerusakan lingkungan. ”Ketersediaan air harus diselamatkan,” katanya. Rencana mitigasi Mengenai mitigasi (pencegahan) perubahan iklim, Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) mendorong pengembangan limbah atau sampah berbagai jenis industri menjadi pembangkit, seperti biomassa, biogas, energi listrik, atau dimanfaatkan kembali. Pengelolaan gambut secara terpadu juga didorong agar emisi karbon tidak terpapar dan membentuk gas rumah kaca. Demikian juga penerapan tata ruang berbasis daya dukung lingkungan. Soal tata ruang disorot sejumlah LSM lingkungan. Pemerintah di tengah ancaman ketahanan pangan justru berencana membangun Jalan Tol Trans-Jawa yang menggusur ribuan hektar sawah produktif. Selang dua bulan seusai menjadi tuan rumah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim, awal Februari 2008 keluar peraturan pemerintah yang memfasilitasi alih fungsi hutan bagi kepentingan produksi ekstraktif. Menurut Kepala Bidang Mitigasi Perubahan Iklim KNLH Haneda Sri Mulyanto, program setiap institusi idealnya mengacu pada kerentanan dampak perubahan iklim. ”Perlu dipertanyakan ketahanannya terhadap dampak perubahan iklim,” katanya. Pembangunan infrastruktur di kawasan pesisir, misalnya, perlu diperhitungkan ketahanannya seiring ancaman kenaikan muka laut. Begitu pula varietas tanaman pangan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim. (GSA) Post Date : 14 Januari 2009 |