|
Bandung, Kompas - Kawasan metropolitan Bandung, yang terdiri dari Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan beberapa kecamatan di sekitarnya, diprediksikan mengalami kekurangan air baku pada tahun 2010 mendatang. Hal ini akan semakin cepat terjadi apabila kerusakan hutan di sekitar kawasan Cekungan Bandung terus dibiarkan terjadi. Demikian disampaikan Kepala Bagian Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat (Jabar) Dicky Saromi di depan peserta seminar dan lokakarya Perumusan Konsep Penataan Ruang Kabupaten Bandung di Lembang, Selasa (7/12). Menurut data Bappeda Jabar, potensi ketersediaan air baku setiap tahunnya sama, yaitu 1,85 miliar meter kubik (m3) per tahun. Namun, karena berbagai faktor, antara lain jumlah penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan industri pengguna air juga semakin banyak, maka kebutuhan air baku setiap tahun juga terus bertambah. Tahun 2002 kebutuhan air baku di wilayah metropolitan Bandung mencapai 1,7 miliar m3 per tahun. Tahun 2005 diperkirakan terjadi kenaikan kebutuhan masyarakat terhadap air baku menjadi sekitar 1,8 miliar m3. Kebutuhan air baku akan tidak terpenuhi mulai tahun 2010 ketika kebutuhan mencapai 1,98 miliar m3 per tahun. Ketersediaan air baku itu sendiri tidak terlepas dari penurunan muka air tanah di beberapa wilayah metropolitan Bandung. Berdasarkan data dari Bappeda Jabar, tidak kurang dari 20 tempat di wilayah ini mengalami penurunan permukaan air tanah. Penurunan yang paling tinggi berada di daerah Utama, Leuwigajah, Cimindi, dan Cibaligo. Kelima daerah ini mengalami penurunan muka air tanah antara 3,11 meter hingga 5,12 meter per tahun. Titik kritis Anggota Dewan Pakar-Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, setuju dengan pernyataan Dicky. Namun, menurut Sobirin, defisit itu bisa terjadi lebih cepat sebelum tahun 2010. "Diperkirakan dalam dua hingga tiga tahun mendatang ketersediaan air baku akan mencapai titik kritis. Kalau biasanya kita mendengar kekeringan di wilayah pertanian, sekarang sudah terjadi kekeringan di perkotaan," ujarnya. Hal demikian bisa terjadi melihat kondisi topografi Cekungan Bandung. Sobirin menjelaskan, kondisi Cekungan Bandung yang dikelilingi perbukitan dan gunung-gunung di sekelilingnya mengakibatkan tidak banyak uap air yang jatuh di tengah-tengah cekungan. Pada bagian utara, apabila ada uap air dari Laut Jawa, ia akan jatuh dalam bentuk hujan di sekitar Gunung Tangkuban Perahu. Sementara di bagian selatan, hujan jatuh di selatan Gunung Papandayan. Air hujan yang jatuh di wilayah utara dan selatan tidak diserap oleh tanah karena pohon- pohon di kedua wilayah tersebut telah berkurang banyak. Akibatnya adalah air hujan mengalir terus ke kota dan mendatangkan banjir. Menurut Sobirin, sebenarnya hal tersebut bisa diperbaiki dengan mengatasi berbagai kerusakan lingkungan di kedua wilayah itu. Dia sebelumnya berharap pada program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis sebagai salah satu alternatif perbaikan kerusakan lingkungan. Namun, ujar Sobirin lebih lanjut, ternyata program tersebut tidak berjalan dengan baik. Untuk itu, sebagai alternatif pemecahan persoalan tersebut adalah dengan mengajak masyarakat menanami lahan kritis maupun yang hampir kritis dengan pohon-pohon pionir (pohon yang hidup dengan hanya sedikit air), seperti durian, nangka, dan suren. Sobirin menegaskan, untuk mencegah kerusakan yang semakin parah di kawasan resapan air, pemerintah harus segera mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang kawasan lindung di Cekungan Bandung. Dengan perda tersebut diharapkan kerusakan lingkungan bisa diperlambat bahkan dikurangi sedikit demi sedikit. Sobirin mengharapkan pemda di Cekungan Bandung membuat rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang menunjang pelestarian lingkungan. (J11) Post Date : 08 Desember 2004 |